Wasilhah/Tawassul dan Tabarruk
|
Daftar isi
Bab 9 ini diantaranya:
|
|
Sekelumit pengantar makna tawassul
Ayat-Ayat
al-Quran yang berkaitan dengan Tawassul / Istighotsah
Tawassul
dengan Nama-Nama Allah yang Agung
Tawassul
melalui Amal Saleh
Tawassul
melalui Do’a Rasul
Tawassul
melalui Do’a Saudara Mukmin
Tawassul
melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
Tawassul
melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh
Hadits-Hadits
tentang Legalitas/pembolehan Tawassul / Istighotsah
Prilaku
Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala
wafatnya
Pengertian tawassul menurut Ibnu Taimiyyah
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Imamnya madzhab
Wahabi/ Salafi tidak mengingkari tawassul
Diantara dalil-dalil orang yang membantah
dan jawabannya
Tabarruk
Berkah
dan Tabarruk dalam al-Quran
Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari
bekas air wudhu Nabi saw.
Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat pada
Nabi saw.
Tabarruk para Sahabat dengan keringat,
rambut dan kuku Nabi saw.
Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi
saw.
Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan
dan bibir Nabi saw.
Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan
Tempat Shalat Nabi
Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat
Nabi saw.
Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan)
Rasulallah saw.
Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk
Macam-macam Tabarruk
Jenazah dan Kuburan/Pusara Ulama yang
Diambil Berkah
Golongan
Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan dan jawabannya
|
Sebenarnya bab ini juga sudah kami singgung pada
halaman sebelumnya, umpama dalam bab 2 'Siapakah golongan Wahabi...' , tapi
marilah sekarang kita rujuk dalil-dalil khusus yang berkaitan dengan
Tawassul,Tabarruk dan minta pertolongan pada manusia, tidak langsung kepada
Allah swt. Insya Allah dengan adanya keterangan nanti, para pembaca lebih
jelas dan mantep mengenai dibolehkannya tawassul/tabarruk atau minta pertolongan
kepada manusia. Sementara orang memandang wasithah/tawassul dan tabarruk
hal yang dilarang dan dikategorikan sebagai syirik, berdalil kepada firman
Allah dan hadits Rasulallah saw. (dalil-dalinya kita bicarakan tersendiri)
yang menurut paham mereka sebagai larangan bertawassul, bertabarruk dan minta
pertolongan kepada manusia. Padahal yang dimaksud oleh firman Allah swt. dan
hadits-hadits yang mereka ajukan tersebut, maknanya bukan seperti yang mereka
tafsirkan yakni bukan berarti melarang orang untuk bertawassul/bertabarruk
atau minta pertolongan kepada para Rasul dan para sholihin.
Rasulallah saw. sering mengingatkan agar kita jangan
lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari
Allah swt. Jadi bila kita hendak minta tolong pada manusia, kita harus
tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung
pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali kita lupa kepada ‘Sebab
Pertama’ yang berkenan menolong kita serta yang mengatur semua
hubungan dalam kehidupan ini adalah Allah swt.
Jika Islam melarang
seorang muslim minta tolong kepada sesamanya, atau minta tolong pada Rasulallah
saw., tentu beliau saw. melarang kaum muslimin minta tolong kepadanya, dan
beliau tidak akan pernah mau dimintai tolong supaya berdoa agar Allah swt.
menurunkan hujan di musim kemarau dan berdoa untuk lainnya. Terbukti bahwa
beliau tidak pernah menolak permintaan mereka ini. Hadits-hadits yang golongan
pengingkar buat sebagai dalil tersebut,
tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu
akidah tauhid, bahwa penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan
manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara.
Demikian pula kalau
permintaan tolong pada selain Allah swt. dilarang, maka akan bertentangan
dengan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang membolehkan
tawassul dan minta tolong dengan sesama manusia. Jadi minta pertolongan pada
makhluk atau tawassul tersebut mustahab/boleh selama orang tersebut tidak
mempunyai keyakinan/akidah bahwa Nabi, para waliyullah dan sebagainya tersebut
dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga yakin bahwa
orang yang mohon syafa’at ini adalah sebagai upaya/iktisab sedangkan yang
dimintai syafa’at adalah ‘wasithah’
tidak lebih dari itu.
Hakekat ‘Tawassul’ merupakan hal
yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama
agama Islam, yang mana dalam sebuah ayatnya menyatakan: ‘Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat ini Allah
swt. menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk
menyampai- kan manusia kepada Allah swt.
Yang menjadi pertanyaan adalah; Adakah sarana-sarana lain yang sah ,menurut
syariat Islam, yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah swt. ataukah dalam
penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserahkan kepada manusia? Untuk
menjawab secara ringkas maka dapat kita katakan bahwa: Jelas sekali bahwa
penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah swt. tidak terdapat campur tangan
manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana
apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Hanya sarana-sarana yang telah
ditentukan oleh syariat Islam –yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah
as-Sohihah Rasulullah saw.– saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju
Allah swt.
Sehingga darisini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak
mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil umum maupun khusus– maka
tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan
memasuki kajian legalitas ‘Tawassul/Istighatsah’
sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah di jelaskan oleh
al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw. maupun prilaku para Salaf Sholeh dan Ulama
Salaf Ahlusunnah wal Jama’ah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan
obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ ,
yang menyebabkan kita terjerumus kedalam jurang bid’ah sesat, seperti yang ada
pada sebagian amalan yang kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia.
Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/
Istighatsah, sebagaimana yang di lakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas
dari kerancuan metodologi memahami tekts.
Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi/Salafi’ , keduanya
telah terjerumus kedalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan)
yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep
Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak
sesuai dengan apa yang di-inginkan oleh Islam.
Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan
dalam menentukan asal dan makna kata, maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul”
mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’
(kedekatan), atau ‘washilah’ (penyampai/penghubung). Sehingga
sewaktu di katakan bahwa ‘wasala fulan
ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti
‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu
pebuatan sewaktu melakukan pebuatan, yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan
al-‘Arab karya Ibn Mandzur
jilid 11 asal kata wa-sa-la).
Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang berarti
‘menolong’, yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang
kemudian menjadi ‘istighatsah’, yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’.
Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai
kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.
Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan
obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang disahkan oleh syariat Islam.
Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan obyek maka terjadi
perbedaan juga dalam menghukuminya. Dari perbedaan hukum tadilah akhirnya
muncul ‘penyesatan’ dari kelompok
yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak mau
menerima pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah
berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah
sesat atau syirik. Disini, kita akan mengklasifikasikan pendapat-pendapat
tersebut menjadi tiga bagian:
Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
(mengenai tawassul dan tabarruk)
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab
an-Najdi (pelopor dan imam sekte Wahabisme), yang dalam kitab “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan:
“Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahabi/Salafi .red)
mengatakan kepadamu; ‘Ingatlah,
Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati’ (QS Yunus: 62), atau mengatakan bahwa
syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di
sisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan
kebatilannya (seperti Syafa’at,
Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. red),
sedang kalian tidak memahaminya (tidak bisa menjawabnya), maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah dalam al-Qur’an
menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan
ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan
mengikuti yang samar (mutasyabih) ‘ ”. (Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60).
Disini jelas sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang
yang meyakini adanya syafa’at, kedudukan tinggi para nabi disisi Allah swt.
sehingga dimintai istighatsah/ tawassul, tabarruk…dst.nya. Bahkan disini,
Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya ‘cara melarikan diri’ dari diskusi
tentang doktrinan sektenya dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada
pembagian tasyabbuh (yang samar) dan muhkam (yang jelas) ayat-ayat al-Qur’an.
Termasuk cara mengajak para pengkritisi ajaran
Wahabisme untuk bertobat tanpa terbukti
kesalahannya. Ternyata, akhirnya cara-cara
licik ini pun yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahabi ketika
terdesak dalam berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan
menjadi kebiasaan buruk mayoritas para pengikut sekte tersebut.
Contoh-contoh lain:
Nashiruddin al-Albani seorang ahli hadits dari kalangan Wahabi
pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul;
Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya)
begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab
Syarh Thahawiyah) bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong masalah akidah”.
Abdullah bin Baz seorang mufti Wahabi mengatakan: “Barangsiapa
yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta syafa’at darinya
maka ia telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).
Imam dari sekte salafi Abdul Aziz Bin Baz dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4 halaman
29 mengatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari
berkah (tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak ada
asal/dasarnya) dalam syariat Islam”.
Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa
perbatan semacam itu (mencari berkah) tidak ada dalilnya dan merupakan
perbuatan bid’ah.Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at
al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366 mengatakan: “Mengambil berkah
dari kisa’ (kain yang melingkari.red)
Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak
pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam
kitab “Dalil al-Akhtha‟” halaman 107
disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan
tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”. Inilah fatwa
syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog
kaum Wahabi/salafi, selain Bin Baz di atas tadi.
Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah” halaman 28-29 mengatakan: “Tabarruk mempunyai arti mencari berkah, penetapan
kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan
ini harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan.
Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Dia yang mampu menurunkan dan
menetapkannya. Tiada satu makhlukpun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah
ataupun mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak
diperbolehkan mengambil berkah dari tempat-tempat, peninggalan-peninggalan
ataupun seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Karena hal itu
bisa masuk kategori syirik”.
Jika tadi Bin Baz dan Bin Utsaimin menyebutnya sebagai
perbuatan bid'ah maka sekarang Bin Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama
Wahabi sebelumnya tadi. Ia telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah
Tergolong Musyrik”. Mari kita
lanjutkan penelitian dari kajian kita ke contoh terakhir dari fatwa mereka
(kaum Wahabi yang berkedok Salafi).
Para ulama Wahabisme
yang terhimpun dalam “al-Lajnah
ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan
Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat
terhadap masjid ini dengan mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah
merupakan pekerjaan bid’ah dan juga
masuk dari salah satu jenis syirik.
Perbuatan ini sama dengan perbuatan kaum
kafir pada zaman jahiliyah”.
Ternyata kumpulan ulama Wahhabi ini ingin menyatukan
antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa “tabarruk”
merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan
syirik. Mereka ini menfatwakan bahwa
“Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori
bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi
dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.
Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal
Jama’ah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas
Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk ini. Insya Allah dalam situs ini kita
jelaskan mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Kita akan memberikan contoh
beberapa tokoh dari mereka saja:
Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan: “Sesungguhnya aku
telah bertabarruk dari Abu Hanifah
(imam para madzhab Hanafi .red) dan
mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat, maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi
kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan do’aku di sisi (kuburan)-nya.
Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan”
(Lihat: Kitab Tarikh
Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang
berada di Baghdad)
As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang
bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta pertolongan yang berkaitan
suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasulallah saw. memiliki kemampuan
untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafa’atnya kepada Tuhannya. Maka hal
itu kembali kepada permohonan do’anya, walaupun terdapat perbedaan dari segi
pengibaratannya. Kadangkala seseorang meminta; ‘aku memohon kepadamu
(wahai Rasulallah .red) untuk dapat menemanimu di sorga…’ , tiada yang
dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw. menjadi sebab dan pemberi syafa’at” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2
halaman 1374)
As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam
kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin”, dengan mengatakan: “Dan
bertawassul kepada Allah swt. melalui para
nabi dan manusia sholeh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)
Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab Hanbali pernah menyatakan:
“Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi kekuburan Musa bin Ja’far
(keturunan Rasulullah saw. yang kelima pen.) dan aku bertawasul kepadanya
melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120
dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).
Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah
al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah, maka akan kita dapati bahwa
ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati
bahwa terkadang ia mengingkarinya, terkadang membolehkannya,
dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya. Untuk lebih
jelasnya, mari kita lihat apa yang telah di tulisnya dalam salah satu kitab
yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah”, dimana ia membagi Tawassul menjadi
tiga kategori:
Petama: Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal
muassal Iman dan Islam.B arangsiapa yang mengingkarinya berarti telah (kufur)
terhadap hal yang umum dan yang khusus.
Kedua: Tawassul dengan do’a dan syafa’at Nabi dalam arti bahwa Nabi secara langsung
dapat memberi syafa’at dan mendengar do’a semasa hidupnya dan sehingga di
akhirat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya.
Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya.
Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.
Ketiga: Tawassul untuk mendapat syafa’atnya pasca kematiannya. Sungguh ini
merupakan bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu
Taimiyah halaman 13/20/50).
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah pun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas/kebolehan
tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentu kan
sikapnya. Dari penjelasan diatas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul ,versi Ibnu
Taimiyah, terletak pada hidup dan matinya
obyek yang di tawassuli. Benarkah demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa
pernyataan Ibnu Taimiyah itu telah terbantah dengan dalil-dalil dalam ajaran
Islam itu sendiri.
Yang perlu diuraikan masalah tawassul/istighotsah ialah pendapat
kedua yakni pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (Islam
secara keseluruhan), yang melegalkan konsep dan praktek
Tawassul/Istighatsah kepada Nabi saw. dan orang-orang sholeh. Jadi dalam
masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, Tabarruk dan
masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahabi–
ternyata kelompok Salafi (baca:Wahabi) sendirian, karena mereka tidak
memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Qur’an, sunnah Rasulallah
maupun perilaku Salaf Sholeh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena;
‘Dalam masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam’.
Arti atau makna garis
besar Tawassul/Wasithah ialah perantara, misalnya kita berdo’a pada
Allah swt. dengan menyertakan nama
Muhammad Rasulallah saw. atau nama
pribadi seseorang ahli taqwa dalam do’a kita tersebut atau berdo’a pada Allah
swt. dengan menyebut-nyebut amal kebaikan yang telah kita jalankan. Dengan
demikian lebih besar harapan do’a kita akan dikabulkan oleh Allah swt.
Ingat, bahwa kita dalam tawassul ini berdo’a pada Allah swt. jadi bukan berdo’a pada makhluk untuk menyekutu-
kan Allah swt.!
Juga termasuk makna
wasithah/tawassul ialah minta pertolongan pada makhluk, tidak langsung
kepada Allah swt., begitupun juga minta syafa’at kepada Nabi saw.,
para sahabat atau kepada para waliyullah/ahli taqwa baik yang masih
hidup maupun yang telah wafat.
Ayat-Ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan Tawassul / Istighotsah
Dalam pandangan al-Qur’an akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah/
Tawassul adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal
dalam syariat Allah swt.. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Qur’an
sehingga tidak mungkin dapat dipungkiri oleh kelompok muslim manapun ,termasuk
kelompok Wahabi, jika mereka masih mempercayai kebenaran al-Qur’an. Dalam
al-Qur’an akan kita dapati beberapa contoh dari permohonan pertolongan (istighotsah)
dan pengambilan sarana (tawassul) pengikut setia para nabi dan kekasih
Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Hal itu agar
supaya Allah swt. mengabulkan do’a dan hajatnya dengan segera. Disini kita akan
memberi beberapa contoh yang ada:
– Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah swt. berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku (Nabi Isa as.) telah datang kepadamu dengan membawa
sesuatu tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu
dari tanah berbentuk burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor
burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari
lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati
dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang
kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu
tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu,
jika kamu sungguh-sungguh beriman’ ”.
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa para pengikut Isa al-Masih ber-tawassul
kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang mati,
menyembuh- kan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul
kepada nabi Allah tadi bukan karena
mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara
independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah swt.., sehingga
tanpa bantuan Allah-pun nabi Isa mampu melakukan semua hal tadi.
Tetapi mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu
(memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa as. memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah /wajih)
di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang di-inginkan olehnya
niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah swt.
Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; Meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent (merdeka) dari kekuatan dan kemampuan Allah”.
Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin dan percaya bahwa semua kekuatan dan
kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah swt. tidak akan terjadi kecuali
dengan izin Allah swt.. Namun anehnya, kelompok Wahabi langsung menvonis
musyrik bagi pelaku tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah swt.. berfirman: “Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun
bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
bersalah (berdosa)’ ”.
Jika kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para
anak-anak Ya’qub as. mereka tidak meminta pengampunan dari Ya’qub sendiri
secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal
pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka ,yang tergolong kekasih
Ilahi (nabi), yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan
pengampunan dosa dari Allah swt.. Dan ternyata, nabi Ya’qub pun tidak
menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya
agar langsung memohon kepada Allah swt., karena Allah Maha Mendengarkan segala
per- mohonan dan do’a. Malahan nabi Ya’qub as menjawab permohonan anak-anaknya
tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang’ ”(QS Yusuf: 98).
– Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya
dirinya datang kepadamu (Muhammad
saw.) lalu memohon ampun kepada Allah,
dan rasul (Muhammad saw.) pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa,
Rasululah saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah/maqom/wajih)
yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah swt.untuk
menjadi perantara (wasilah) dan
tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah swt... Dan terbukti
(nanti kita akan dijelaskan dalam kajian berikutnya) bahwa banyak dari
para sahabat mulia Rasulallah saw. ,yang tergolong Salaf Sholeh, menggunakan
kesempatan emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah swt.. melalui perantara
Rasulullah saw.. Hal ini yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal
Jama’ah dalam mengkritisi ajaran Wahabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus
Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahabiyyah” (Lihat: halaman 22).
Semua ahli tafsir
al-Qur’an termasuk Mufasir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa: 64 itu
diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Yang
kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta
ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah
merespon nya:
Allah menolak untuk
menerima permohonan ampun secara langsung, Dia memerintahkan mereka untuk
terlebih dahulu mendatangi Rasulallah saw, kemudian memintakan ampun
kepada Allah swt, dan Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat
mereka. Dengan demikian Rasulallah saw. bisa dijuluki
sebagai Pengampun dosa secara kiasan/majazi, sedangkan Allah swt.
sebagai Pengampun dosa yang hakiki/sebenarnya.
Allah memerintahkan
sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan ,menyertakan Rasulallah saw.
dalam permohonan ampun mereka, hanya setelah melakukan ini mereka akan
benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.
Lihat firman Allah swt.
itu malah Dia yang memerintahkan para sahabat untuk minta tolong pada
Rasulallah saw. untuk berdo’a pada Allah swt. agar mengampunkan
kesalahan-kesalahan mereka, mengapa para sahabat tidak langsung memohon pada
Allah swt.? Bila hal ini dilarang, maka tidak mungkin Allah swt. memerintahkan
pada hamba-Nya sesuatu yang tidak di-zinkan-Nya! Dan masih banyak lagi firman
Allah swt. meminta Rasul-Nya untuk memohonkan ampun buat orang lain umpamanya:
Q.S 3:159, QS 4:106, QS 24:62, QS 47:19, QS 60:12, dan QS 63:5.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahabi dan
pengikutnya adalah:
- Jikalau istighotsah atau tawassul adalah syirik, lantas apakah mungkin
para nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka
diutus untuk menumpas segala macam bentuk syirik?
- Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka
mengabulkan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan
tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
- Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah
mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan– umat mereka
melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah
perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu
bahwa Allah Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui sehingga membiarkan,
meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
- Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah/tawassul adalah perbuatan syirik,
bid’ah, sia-sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha Mendengarkan
do’a, dan seterusnya…. maka Oh, betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik–
para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan Oh, betapa cerdasnya
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut madzhabnya terhadap
ajaran murni Ilahi….
Firman Allah swt.: "Sulaiman berkata, 'Hai pembesar-pembesar,
siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. 'Ifrit
(yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datangkan kepadamu dengan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu,
sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya’.
Seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia
Tuhanku' ". (QS. an-Naml: 38 - 40).
Firman Allah swt. ini
menerangkan bahwa Nabi Sulaiman as. ingin mendatangkan singgasana Ratu Balqis
dari tempat yang jauh dalam waktu yang cepat sekali. Hal ini merupakan kejadian
yang luar biasa, sehingga Nabi Sulaiman as. dengan pengetahuan yang cukup luas
mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan kekuasaan Allah.
Dan pada saat itu Nabi Sulaiman as. tidak minta tolong langsung pada Allah
swt. melainkan minta tolong kepada makhluk Allah swt. untuk memindahkan
singgasana Ratu Balqis tersebut. Ayat ini juga sebagai dalil yang menunjukkan bahwa minta
tolong pada orang lain tidak menafikan ketauhidan kita kepada Allah
swt.. baik itu dilakukan secara ghaib maupun secara alami.
Syirik adalah urusan hati.
Jika Nabi Sulaiman as.
meminta perkara ghaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki
yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab
mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita terlebih lagi boleh meminta
kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu
al-Kitab yaitu Rasulallah saw. dan Ahlu-Baitnya.
Begitu juga menurut para
ahli tafsir yang mendatangkan singgasana ratu Balqis itu jelas bukan Nabi
Sulaiman sendiri tetapi orang lain, karena dalam ayat ini jelas bahwa Nabi
Sulaiman bertanya kepada umatnya dan salah satu dari umatnya ,yang mempunyai
ilmu, sanggup mendatangkan singgasana itu dengan sekejap mata. Dengan demikian
seorang yang mempunyai ilmu ini bisa dijuluki juga sebagai Penolong/Pemindah
singgaana Ratu Balqis secara kiasan, sedangkan Penolong/Pemindah yang hakiki/sebenarnya ialah Allah swt.
Sama halnya orang yang
meminum obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Obat ini bisa dijuluki secara kiasan/majazi sebagai Penyembuh Penyakit
tersebut, sedangkan Penyembuh Penyakit yang hakiki/sebenarnya
adalah Allah swt.
Sekarang kita bertanya
lagi, apakah Syirik bila seorang mengatakan si A Penolong saya atau obat itu
Penyembuh penyakit saya? Sudah tentu tidak syirik, selama orang tersebut
mempunyai keyakinan bahwa semuanya itu hanya sebagai perantara sedangkan
Penolong dan Penyembuh yang sebenarnya adalah Allah swt. Jadi disini yang
penting adalah keyakinan seseorang!
Begitu juga halnya dengan para ulama yang menulis kitab-kitab Maulud,
Burdah dan sebagainya, yang mana dikitab-kitabnya itu ada disebutkan bahwa
Rasulallah saw. sebagai Penolong, Pengampun dosa dan sebagainya. Tidak lain
mereka ini juga mengerti dan paham benar bahwa Pengampun, Penolong, yang
sebenarnya adalah Allah swt. Perbuatan seperti ini bukanlah syirik !!
Tawassul Nabi Adam as.
pada Rasulallah saw. Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt.
(Al-Baqarah :37) yang berbunyi:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ
عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ
الرَّحِيْمُ
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang
”.
Menurut
ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada
ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam
kalimat taubatnya bi-haqqi (demi
kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita
rujuk pada
kitab:
Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63,
hadits ke 89 ; Yanabi’ul Mawaddah,
oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,.
halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah ;
Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir)
Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419 ; Ad-Durrul Mantsur, oleh
As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60 ; Al-Ghadir, oleh Al-Amini,
jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam
Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan
meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada
Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia
pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan
bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud
ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas ,tentang tawassulnya Nabi Adam as.
ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan
dengan tawassul:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak
Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayatkan
secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul
Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin
Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan
datuknya) sebagai berikut:
Rasulallah
saw.bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ
أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا
آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ
ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ
مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ
مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ
اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ
إلَيْكَ, فَقَالَ
اللهُ
صَدَقْتَ يَا
آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ
غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا
خَلَقْتُكَ.
Artinya: “Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya
Tuhanku, demi kebenaran Muhammad
aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha
mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk
lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana
engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya
Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku
angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha
illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping
nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah
menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai.
Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti
Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan
oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun
Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah,
diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul
Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us
Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan
oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal
dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan
hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya
pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ
النَّـارَ
Artinya: ‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan
Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai
kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya,
ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang
memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada
yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak
dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu.
Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau
menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil.
Yang pertama
yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah
yang mengatakan sebagai berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْل اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا
؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ
سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ
كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَاتَمُ
الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ
فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ
آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى
العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا
الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ
Artinya:
“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai
menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit,
kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muhammad Rasulallah
khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan
surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya,
dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih
dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia
memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu
padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia.
Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka bertaubat kepada
Allah dengan minta syafa’at pada
namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang
kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu
Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman
bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah
bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لَمَّا
أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ
إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ,
وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟
فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي رَفَعْتُ رَأسِي إلَى
عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ
مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ
غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ
الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Artinya:
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya
Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad
niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah
Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau
menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba
kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah.
Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu,
karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya
benar, engkau Aku ampuni,.
ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau
tidak Aku ciptakan’ ”.
Dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan
dan dibenarkan oleh Ibnu Taimiyyah, beliau ini belum yakin bahwa
hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Kendati
demikian, Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan
menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap
sementara golongan yang menganggap makna hadits tersebut bathil/salah atau
bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak
pada tempatnya!!
Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang
terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada
orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta,
dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak
menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit,
bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw,
bukan hadits shohih dan
bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang
mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari
sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa
yang mengucapkannya. Sekalipun demikian
makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir
firman Allah swt.: "Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada
dilangit dan dibumi " (S.Luqman
: 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini--pen.) dan
ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi
alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagaimana diketahui didalam ayat-ayat
tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar
daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan
dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan
terciptanya Muhammad saw.“.
Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman
Allah swt. dalam surat Ibrahim 32-34 ,yang dimaksud Ibnu Taimiyyah,
ialah:
اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ
رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ
بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ
وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا
نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ
كَفَّارٌ
Artinya: “Allah-lah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia
telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di
lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian.
Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus
menerus beredar ,dalam orbitnya masing-masing, dan telah menundukkan bagi
kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang
kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah,
kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia
itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34).
Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Dalam al-Quran, Allah swt.. telah menekankan kepada ummat Muhammad saw.
untuk melaksanakan tawassul, dan Dia telah mengizinkan mereka untuk melakukan
tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa
tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan
Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah
terhadap do’a hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul.
Disini, kita akan sebutkan ,berikut ini, secara ringkas beberapa bentuk
tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran:
Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang
Agung:
Allah swt. berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat ini dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa
ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah
kita diperkenankan untuk berdo’a kepada Allah swt.. Tentu nama Allah bukan
Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki
kandungan sifat keindahan, rahmat,
ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah swt..,
obyek utama do’a, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.
Tawassul melalui Amal Sholeh:
Amal sholeh merupakan salah satu jenis sarana
(wasilah) yang dilegalkan oleh Allah swt. Amal sholeh juga bukan Dzat Allah itu
sendiri, namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon
sesuatu kepada Dzat Allah swt. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan
didengar semua keinginannya oleh Allah swt.. Ketika tawassul berarti;
“Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat
Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal sholeh adalah salah satu
dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Ibrahim a.s. ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah swt. dalam al-Qur’an
berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdo’a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada
kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh
kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat
haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang’ ” . (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat ini menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal
Sholeh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim al-Khalil
agar Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar
Allah menerima taubatnya.
Tawassul melalui Do’a Rasul:
Allah swt. dalam al-Qur’an (dalam banyak ayat)
menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul disisi-Nya. Allah swt.,
juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara
kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding
manusia biasa. Apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah saw.
sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam
masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh– para manusia diperintah
untuk tidak menyamakannya dengan seruan terhadap manusia biasa lainnya. Allah
swt. berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu
seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu
dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”
. (QS an-Nur: 63).
Bahkan dalam kesempatan lain Allah swt. juga
menjelaskan, betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah
swt. itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai
bencana. Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka. dan tidaklah
(pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” . (QS
al-Anfal: 33).
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah
swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. dan menyatakan
bahwa perbuatan keduanya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini
sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad saw. di
mata Allah swt.. Sebagai contoh, apa yang di nyatakan Allah swt... dalam
al-Qur’an yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan
‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan
perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya
lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami
beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu,
kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’ ” .(QS
at-Taubah: 94).
Atau ayat yang berbunyi: “Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka
tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguh nya mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan
mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela
(Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. telah melimpahkan
karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih
baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab
mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”
(QS at-Taubah: 74).
Masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti
bahwa Rasulullah saw. adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan
khusus disisi Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasulallah
saw. semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil)
bahwa permohonan do’a –tentu do’a yang baik– dengan menjadikan Rasulallah saw.
sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah swt. akan enggan menolak permintaan kita
dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah
Muhammad bin Abdullah saw. maka kita telah menyeru Allah swt. dengan
berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.
Atas dasar itu, Allah swt. memerintahkan kepada
para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonggak yang tidak
tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah saw.) dan meminta pengampunan
di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena
melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad saw.adalah kunci dari
penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah swt.
Dalam hal itu Allah swt... berfirman: “Dan
kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS
an-Nisa’: 64).
Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti
firman Allah swt...: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah
(beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka
mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” . (QS
al-Munafiqqun: 5).
Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah
saw. memiliki kedudukan, kemuliaan dan keagungan di mata Allah swt.., Pencipta
dan Penguasa alam semesta. Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad saw.
semacam ini, hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh
pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah
saw. tadi.
Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul
saw. niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasulallah sebagai
manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah
yang menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahabi terjerumus ke lembah penyesatan
kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji
Rasulullah saw.dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
sohih, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab
ratib. Rahasia hakekat Muhammad saw. –dan nabi-nabi lain– ini pulalah yang akan
kita jadikan dalil ‘Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara
Lahir telah wafat’, pada kajian selanjutnya.
Tawassul melalui Do’a Saudara Mukmin:
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah
swt. dalam al-Qur’an adalah, do’a saudara mukmin. Dalam al-Qur’an, Allah swt...
berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman’; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’ ”
(QS al-Hasyr: 10). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang
belakangan telah mendo’akan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang
terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa do’a untuk orang terdahulu sangat
ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah do’a
kepada yang telah wafat –walau bukan anak serta famili (kerabat)– akan dapat
sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.
Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba
Sholeh:
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian
sebelumnya. Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui
do’a Rasul, maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan
tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi, agar menjadi
sarana pengkabulan do’a, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah
swt..
Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ya’kub as.
dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh nabi Yusuf sebagai
sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah swt.. Jelas
sekali perbedaan antara tawassul melalui do’a Nabi, dengan tawassul
melalui diri Nabi. Jadi, disini kita diberitahukan tentang legalitas
tawassul kepada Allah swt. melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan
(jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi
Nabi/Rasul disisi Allah swt.. Ini merupakan bentuk inayah khasshah
(anugerah khusus) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para
kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana (wasilah)
yang di janjikan Allah swt. itu diletakkan kepada pribadi para
hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh
Allah swt.. Hal itu sebagaimana Allah swt. telah mengangkatnya ke
pangkuan-Nya.
Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan
bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu
(manusia Sholeh pengikut sejati Rasulallah), mereka adalah para pemiliki
kedudukan tinggi disisi Allah, maka Allah swt.. memerintahkan kepada segenap
kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah swt.. berfirman:
“(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada disisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung” . (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya do’a terdapat pada
kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap
manusia Sholeh tadi, maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan
sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat
keridhoaan Allah. Sebagaimana do’a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan
oleh Allah swt.. Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do’a
manusia sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah, maka menjadikan
sarana (wasilah) kepribadian (dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan
(jah/ maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia sholeh tadi pun lebih
utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan do’a’ dan ‘sarana
kedudukan/kepribadian agung manusia sholeh’ terdapat relasi/hubungan erat
dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar’i). Memisahkan antara
keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan
sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia
sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan
kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah
swt.. Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadits, yang diriwayatkan oleh
para imam perawi hadits dari Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat
tig orang yang tertutup didalam goa. Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin
menelaah lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam
kitab-kitab hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138
hadits ke-16789; Sunan Ibnu Majah;
jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385; Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531
dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadits ke-3578 dan kitab lainnya.
Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan
Hamba Sholeh:
Disamping yang telah kita singgung pada bagian
sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum
muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan
ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw..
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh,
dimana diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di
sisi Allah swt...
Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah
sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal
ra, Rasulallah bersabda:
“Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak
Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui’. Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Sesunguhnya hak Allah kepada
Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya terhadap apapun’. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah
bersabda: ‘Wahai Muadz !’ Aku (Muadz) menjawab: ‘Ya, wahai Rasulallah’.
Rasulallah bertanya: ‘Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah
melakukan hal tadi?’. Aku (Muadz) menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui’. Rasulallah bersabda: ‘“Ia tiada akan mengadzabnya’ “. (Lihat:
Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).
Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh
adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan
tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah swt... Dan dikarenakan tawassul
(mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan
oleh Allah swt.– maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh
pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan
(penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam
al-Qur’an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di
tengah-tengah manusia.
Allah swt.. berfirman: “Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang
yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-An’am:
122). Atau sebagaimana dalam firman Allah swt... lainya; “Hai orang-orang
yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah
kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan
dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi
dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek
lain”. Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa
pancaran Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah
menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba
Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf
(anak-anak Ya’qub)– telah melakukan tawassul. Dan al-Qur’an pun telah dengan
jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut
bukan hanya sebatas berkaitan dengan do’a para manusia kekasih Ilahi itu saja,
bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara
pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan do’a mereka tidak dapat di pisahkan
dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas
ketika kita memasuki kajian selanjutnya.
Hadits-Hadits tentang Legalitas/pembolehan Tawassul / Istighotsah
Pada
kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadits ,berikut ini,
dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang menjadi landasan
legalitas tawassul/ istighotsah terhadap Rasulallah saw. dan para hamba Allah
yang sholeh. Dengan adanya dalil-dalil ini kita akan lebih mantep lagi atas
legalitas, manfaat dan hikmah dari tawasuul dan tabarruk tersebut.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan
Tawassul/istighotsah:
– Riwayat
yang mengisahkan tawassulnya Nabi Yusuf as kepada Rasulallah saw. , waktu
beliau didalam sumur, At-Tsa’labi mengisahkan:
“Pada
keempat harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s.
mendatanginya dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur’?
Jawab Yusuf as: ‘Saudara-saudaraku’. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa?
Yusuf as berkata: ‘Mereka dengki karena kedudukanku didepan ayahku’. Jibril as.
berkata: ‘Maukah engkau keluar darisini’? Yusuf a.s.berkata mau. Jibril
as berkata: ‘Ucapkanlah (do’a pada Allah swt.) sebagai berikut’: ‘Wahai Pencipta segala yang tercipta, Wahai
Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang Menyertai segala kumpulan, Wahai Yang
Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan, Wahai Yang
Menemani semua yang sendirian, Wahai Penakluk yang Tak Tertakluk kan, Wahai
Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati, Wahai
Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, aku
bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian, Wahai Pencipta langit dan bumi, Wahai
Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku bermohon agar
Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, berilah jalan
keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan, Berilah
rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga ’ “.
Lalu
Yusuf a.s. mengucapkan do'a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam
sumur, menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir
didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya”. ( At Tsa’labi 157,
Fadhail Khamsah 1:207).
Lihat
riwayat ini, Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril as. untuk berdo’a pada
Allah swt. agar bisa cepat keluar dari sumur dengan sholawat serta tawassul
kepada Rasulallah saw.dan keluarganya. Begitu juga riwayat Nabi Adam as. yang
telah kami kemukakan sebelumnya, yang mana Rasulallah saw. dan keluarganya ini
belum dilahirkan dialam wujud ini !
– Do’a
masih akan terhalang bila orang yang berdo’a tersebut tanpa bertawassul dengan
bersholawat pada Nabi saw.. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. berkata:
‘Setiap do’a antara seorang hamba dengan Allah selalu diantarai dengan hijab
(penghalang, tirai) sampai dia mengucapkan sholawat pada Nabi saw.. Bila ia
membaca sholawat, terbukalah hijab itu dan masuklah do’a.’ (Kanzul ‘Umal 1:173,
Faidh Al-Qadir 5:19)
– Amirul
Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. juga berkata, Rasulallah saw. bersabda: “Setiap do’a terhijab (tertutup) sampai
membaca sholawat pada Muhammad dan keluarganya”. ( Ibnu Hajr
Al-Shawaiq 88 )
– Juga
ada riwayat hadits sebagai berikut: “Barangsiapa
yang melakukan sholat dan tidak membaca shalawat padaku dan keluarga
(Rasulallah saw.), sholat tersebut tidak diterima (batal)”. (Sunan
Al- Daruqutni 136)
– Mendengar sabda Nabi saw. ini para sahabat
diantaranya Jabir Al-Anshori berkata: ‘Sekiranya aku sholat dan didalamnya aku tidak
membaca sholawat pada Muhammad dan keluarga Muhammad aku yakin sholatku tidak
di terima’. (Dhahir Al-Uqba : 19)
–
Begitu juga Imam Syafi’i dalam sebagian bait syairnya mengatakan: “Wahai Ahli Bait (keluarga) Rasulallah,
kecintaan kepadamu diwajibkan Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan, Cukuplah
petunjuk kebesaranmu, Siapa yang tidak bersholawat (waktu sholat) padamu tidak
diterima sholatnya.... “ .
Banyak
hadits yang meriwayatkan agar do’a kita dikabulkan oleh Allah swt. dengan
bertahmid dan bersholawat dahulu sebelum memulai membaca do’a. Begitu juga
banyak riwayat bagaimana cara kita bersholawat kepada Rasulallah saw. dan
keluarganya serta manfaatnya sholawat itu. Tidak lain semua itu termasuk
tawassul/wasithah pada Rasulallah saw. dan keluarganya, bila tidak demikian dan
tidak ada manfaatnya, maka orang tidak perlu menyertakan/menyebut nama beliau
saw. dan keluarganya waktu berdo’a pada Allah swt.!
Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan:
“Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya)
kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasulllah; ‘Berdo’alah
kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!’. Kemudian Rasulallah
bersabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu
lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)’.
Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya (untukku)!’. Rasulallah
memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik
lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca do’a
tersebut:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu,
dan aku datang meng- hampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat.
Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai
Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafa’at
bagiku’.
Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum
sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta
itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta
sebelumnya". (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits
ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495;
Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385; Imam Ahmad dalam
“Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam
“Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir”
halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1,
hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari
situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula ).
–
Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadits diatas ini didalam
bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiy yinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim.
Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini.
Bahkan, ulama yang dipercaya oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui
keshohihan sanad hadits ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud
dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu
Ja'far al-Khathmi. Dia seorang yang dapat dipercaya.’
–
Raffa'i –seorang penulis golongan Wahabi abad ini– yang selalu
berusaha mendhaifkan/melemahkan hadits-hadits yang khusus berkaitan dengan
tawassul dia pun menshohihkan hadits diatas ini. Dia berkata tentang hadits
ini: “Tidak diragukan bahwa hadits ini
shahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang
yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan do’a Rasulallah saw..”
(Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 158).
Raffa’i
berkata didalam kitabnya ini, "Hadits ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i,
Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Zaini Dahlan, didalam
kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadits ini beserta dengan
sanad-sanadnya yang shohih yang kesemuanya
berasal dari Bukhari didalam tarikh-nya, serta Ibnu Majah dan Hakim didalam
Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadits ini
didalam kitabnya al-Jami' (Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab
Khulashah al-Kalam. dan At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66).
Walaupun
Raffa’i hanya mengatakan orang buta tersebut bisa melihat dengan
perantaraan do’a Rasulallah saw. toh dia mengakui kesohihan hadits yang
berkaitan dengan tawassul ini ! Yang sudah pasti orang buta tersebut berdo’a
kepada Allah swt. sambil bertawassul dan menyertakan nama Rasulallah saw. dalam
do’anya dan beliau saw. sendiri telah mengajarkan kepadanya bagaimana cara
berdo’a kepada Allah swt..!
Apakah
Rasulallah saw. akan mengajarkan kepada orang buta itu sesuatu yang berbau
kesyirikan atau kekufuran? Mengapa Rasulallah saw. memerintahkan kepada orang
buta tersebut agar menyebutkan nama beliau saw. didalam do’anya, kalau
semuanya ini tidak mempunyai keistemewaan?
Anehnya, sebagian pengikut Wahabi menyatakan
bahwa tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan
dengan Maha Mendengar dan Mengetahui (Allah swt). Mereka berkata: “Kenapa kita
harus berdo’a melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi
Allah dan do’anya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui atas do’a para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab
oleh golongan pengingkar, yang berpikiran semacam itu adalah: Mengapa
Rasulallah saw. menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan, “…Namun jika
engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”, apakah Nabi –makhluk
kekasih Ilahi itu– tidak mengerti bahwa Allah swt. Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui?
Dari hadits di atas juga dapat kita ambil
pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki
terkena musibah tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah
atas nama pribadi Nabi ‘Bi Muhammadin’ adalah hal yang diperbolehkan
(legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) nabi Muhammad
saw. yang tertera dalam kata ‘Nabiyyurrahmah’. Jika tidak maka sejak
semula Nabi saw. akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut
melalui pribadi Muhammad –bukan hanya do’a Nabi– yang sekaligus atas nama
sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi
anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah saw.
– Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said
al-Khudri, bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan:
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk
melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku
ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin
pujian dan ber bangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap
ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api
neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat
menghapus dosa melainkan diri-Mu’. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan
wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat
”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan
untuk melakukan shalat)
Dari hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa,
Rasulallah saw. mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdo’a untuk menghapus
dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para
peminta do’a dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin
‘alaika‘ (demi para pemohon kepada-Mu), Rasulallah saw. disitu tidak
menggunakan kata ‘Bi haqqi du’a Saailiin ‘alaika’ (demi do’a para
pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’
(menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasulallah saw. membenarkan
–bahkan mengajarkan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para
manusia sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah
swt.– untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan
Allah swt. dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat
dan sebagainya.
– Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia
mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang
dan duduk disisi kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da
ummi‘ (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian
beliau saw. menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafani- nya dengan jubah
beliau. Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari,
Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian
mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw.
sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan
beliau saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw.
berbaring disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan
Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad.
Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”. (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadits
yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan
Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi
sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas
bin Malik, ketika Fathimah binti Asad isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin
Abi Thalib kw. wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad.
Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad,
kemudian berbaring seraya bersabda:
“Allah
yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah,
limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku – panggilan ibu, karena Rasulallah
saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya– lapangkanlah
kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi
sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw.
kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama
Al-‘Abbas dan Abubakar ,radhiyallahu ‘anhumaa, memasukkan jenazah
Fathimah binti Asad kedalam lahad. (
At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)
Pada
hadits itu Rasulallah saw. bertawassul disamping pada diri beliau sendiri juga
kepada para Nabi sebelum beliau saw.! Dalam hadits itu jelas beliau saw.
berdo’a kepada Allah swt. sambil menyebutkan dalam do’anya demi diri beliau
sendiri dan demi para
Nabi sebelum beliau saw. Kalau ini bukan dikatakan sebagai tawassul, mengapa
beliau saw. didalam do’anya menyertakan kata-kata demi para Nabi ? Mengapa
beliau saw. tidak berdo’a saja tanpa menyebutkan ...demi para Nabi lainnya ?
–
Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits
tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang
dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan
para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath
semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang
membenarkan hadits tersebut dari Anas bin
Malik.
Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu
secara berangkai dari Jabir.
Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami
meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari
sumber-sumber yang saling memperkuat kebenarannya.
Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulallah
bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian, dan
kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana (wasilah)
pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadits
di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasulallah saw. memberi
‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan
diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
– Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan
pujiannya terhadap Rasulallah saw. dimana dalam pujian tersebut juga terdapat
muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab Fathul Bari
7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i hal. 300)
Penjelasan-penjelasan semacam inilah yang tidak
dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte
Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul
wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu
Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul
sesuai dengan hadits-hadits yang ada. (Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya
Ibnu Taimiyah halaman 144-145).
Walaupun beberapa hadits di atas secara tersirat
telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para
manusia sholeh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak
kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/
istighotsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat? Marilah kita ikuti
kajian selanjutnya.
Prilaku Salaf Sholeh Penguat Legalitas Tawassul /
Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabi’in
dan tabiut at-tabi’in adalah termasuk dalam golongan salaf sholeh dimana mereka
hidup sangat dekat dengan zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat
yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah saw. dimana setiap perkara
yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung mendapat
jawabannya dari baginda Rasulallah saw.. Salah satu dari sekian perkara yang
menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat
berkaitan dengan konsep istighotsah /tawassul yang sesuai dengan petunjuk
Rasulullah saw.
Disini kita akan menunjukkan beberapa riwayat
yang menjelaskan pemahaman Salaf Sholeh –yang dalam hal ini mencakup para
sahabat mulia Rasul saw.– berkaitan dengan konsep tersebut, dan praktek mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa
contoh seperti di bawah ini:
– Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang tentang tata cara
memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan
meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya (Nabi) dengan mengatakan:
“يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي
لي اللهم فشفعه فيٍ”َ.
Artinya: (“Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul
denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untuk ku. Ya
Allah, terimalah bantuannya padaku”). (Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il”
karya Ibnu Taimiyah 1/18).
Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim
yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasulallah saw., serta pernah belajar
dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran
Ahlusunnah wal Jama’ah. Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari
ajaran Rasulallah saw. terhadap salah seorang sahabat tersebut, sewaktu
beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui diri Muhammad sebagai Rasulullah saw., satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi disisi Allah. Sengaja kita ambil
rujukan dari Ibnu Taimiyah
agar pengikut sekte Wahabi memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami
menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.
Golongan Salafisme melarang dan mengafirkan orang bertawassul dengan
pribadi yang telah wafat, dan mereka juga melarang orang
tawassul dengan memanggil 'Yaa Muhammad... .'. Imamnya golongan
Salafisme ,Muhamad ibnu Abdul-Wahhab, melarang/mengharamkan tawassul dengan
cara ini merujuk dari kitab at-Tawassul wa al Wasilah oleh
Ibnu Taimiyah. Padahal dikitab lain karangan ibnu Taimiyah yang
berjudul al Kalim at-Thayyib terbitan al Maktab al
Islami, Cet. Ke-5 tahun 1405 H/1985 menyarankan bagi orang-orang yang terkena
penyakit semacam kelumpuhan (al Khadar) pada kaki, hendaklah mengucapkan: “Yaa Muhammad…”. Dengan
demikian apa yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam kitab Tawassul wa al Wasilah
berlawanan sendiri dengan apa yang dia tulis dalam kitabnya al Kalim at-Thayyib.
Begitu banyak kitab
yang ditulis untuk membantah paham Salafisme misalnya kitab yang
berjudul ar-Raddu al Muhkam al Matin karya seorang muhaddits dari
Maroko yaitu Syekh Abdullah al Ghammari dan kitab yang berjudul al
Maqalat as-Sunniyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad ibn Taimiyah karya muhaddits
daratan Syam Syekh Abdullah al Harari. Kitab yang terakhir disebut ini
diberi judul demikian, karena Muhammad ibn Abdul Wahhab mengambil pahaman
,dalam mengharamkan tawassul kecuali dengan orang yang hidup dan yang hadir,
dari kitab-kitab Ibnu Taimiyah (W. 728 H).
Mengenai tawassul
kepada pribadi yang telah wafat, ikutilah kajian berikutnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas
bin Malik :
عَنْ أنَسِ, أنَّ عُمَرَبْنَ الخَطَّابِ كَانَ إذَاقُحِـطُوْا إستََسْـقََى
بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ فَقَالَ: اللهُـمَّ إنَّـا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِيْنَا وَإنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ
بَعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه
البخاري)
Artinya: "Bahwasanya
jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab memohon hujan
kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib. Dalam do’anya
ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi saw.
dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan
paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata; ‘Maka Allah
menurunkan hujan pada mereka’ ”. (Lihat:
Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Perbuatan khalifah Umar
dengan tawassul pada paman Nabi saw. tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang
mengingkari, mensyirikkan atau tidak membenarkan prakarsa khalifah ini.
Khalifah Umar ra. yang sudah terkenal dikalangan kaum muslimin masih menyertakan
paman Rasulallah saw. didalam do’anya kepada Allah swt., apalagi kita-kita ini.
Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan
dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin
Khattab telah memohon do'a hujan melalui Abbas (paman Rasulallah) dengan
menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami
bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan
kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka
turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga
menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam
kitab sejarahnya dengan sanad yang shohih).
Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul
Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam
menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas,
menyatakan: “Dapat diambil suatu
pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk
memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul
bait (keluarga) Nabi”.
Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167)
dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada
nomor ke-2797 menyata
kan: “Sewaktu
orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: 'Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk Haramain'.
Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas
sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam
bermusyawarah”.
Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah telah
memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: ‘Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi
yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami
meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah
kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya di-ikuti
oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan
sebelum orang-orang kembali kerumah masing-masing’.
Kami sayangkan lagi ada sebagian ulama yang mengakui keshohihan
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tawassul dan tabarruk, tapi mereka berani
memutar balik maknanya dan
sampai-sampai berani melarang dan mensyirikkan hal tersebut pada
orang yang mengamalkannya!
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar
–sahabat Rasulallah saw.– melakukan hal yang pernah diajarkan Rasulallah kepada
para sahabat mulia beliau saw.. Perbuatan khalifah Umar ini juga sebagai
bukti dibolehkannya tawassul kepada pribadi seseroang yang
mulia.
Walaupun riwayat diatas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab ra.bertawassul
kepada pribadi yang masih hidup, akan
tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi
bukti bahwa bertawassul kepada yang telah
wafat adalah ‘haram’ (entah
karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada dalil baik dari firman
Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. yang menyatakan kalau tawassul pada orang
yang telah wafat itu haram, sedangkan pada orang yang masih hidup dibolehkan!
Sebenarnya tawassul pada pribadi seseorang baik yang masih hidup maupun telah
wafat itu inti/pokoknya adalah sama, yaitu berdo’a kepada Allah swt.
sambil menyertakan nama pribadi seseorang itu. Kalau ini dilarang
berarti semua bentuk tawassul itu harus diharamkan juga.
Apakah golongan
pengingkar ini lupa atau pura-pura lupa bahwa nabi Adam as. bertawassul pada
Nabi saw. dan riwayat lainnya yang antara lain diriwayatkan oleh
ulama yang mereka andalkan yaitu Syeikh Ibnu Taimiyyah, begitu juga
mengenai tawassul Nabi Yusuf a.s kepada beliau saw., tawassul mereka pada Nabi
saw. yang mana beliau bukannya sudah wafat malah belum dilahirkan
dialam wujud ini dan tawassul Rasulallah saw. kepada para Nabi sebelum beliau saw.
Di tambah lagi ,berikut ini, terdapat riwayat lain yang menjelaskan
bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan
Rasulallah saw.– juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara dhahir telah wafat. Yang jelas, riwayat
di atas dengan tegas menjelaskan akan dibolehkannya
tawassul/istighotsah dan menyangkal pendapat madzhab Wahabi dan pengikutnya
yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan
sia-sia dan bertentangan
dengan –Maha Mendengar dan Maha Mengetahui– Allah swt.. Juga sekaligus
menjelaskan legalitas tawassul melalui diri selain
Rasulallah saw. (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman
manusia termulia) di hadapan Allah swt..
Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala wafatnya:
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan:
“Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi
bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa
gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya
engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera
terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke
Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara
Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah saw) datang.
Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman:
137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal
jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1
Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw.,
padahal secara dhohir beliau saw.
telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari
Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah
benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah
wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak
perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal
juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu
Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk
ziarah kubur sebagai- mana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulallah saw. tanpa
mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita
lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara
langsung kepada yang telah meninggal:
“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar
bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara
Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah,
mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya
didalam mimpi dan memberitahu- kannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh
Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman
398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)
Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya
telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.
Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan
sahabat mulia Rasulallah saw. yang tergolong Salaf Sholeh yang harus di-ikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau
tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi
Wahabisme)? Entah siapa yang harus di-ikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab
(pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu,
ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari,
yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulallah?
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam
karyanya yang berjudul ‘Mishbah
adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu
riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang pernah mengisahkan:
“Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan
Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan
dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan
tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau
telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah
dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’
(QS an-Nisa: 64), dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu
agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam
kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’”
karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca
wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah.
Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istighotsah itu
disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri
kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah
dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.
Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu
sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana
Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai
berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan
kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi
14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih
at-Turmudzi” 2/298).
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi
3/124, ‘Ali bersama al-Qur’an dan
al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari
kebangkitan’. Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah
saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki
(masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak
as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang
apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai
Khalifah Ali kw.ini.
Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah wafat adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i), –sebagaimana yang
di-isukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak mungkin sayidina Ali bin
Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan
si Badui muslim akan berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i)
maka ada dua kemungkinan:
1.Khalifah Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum
Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah wafat.
Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasulallah saw.
telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata sayidina Ali bukan
pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadits-hadits di atas. Bagaimana mungkin
orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh
Rasulallah saw. yang dijuluki al-Amin (dipercaya) itu?
2- Hadits-hadits pujian Rasulallah terhadap pribadi Ali kw. itu benar.
Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa ber-
tawassul/istighotsah terhadap orang yang dhahirnya
telah wafat itu adalah legal menurut
syari’at Islam. Karena telah dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai pintu
gerbang ilmu Rasulallah saw., yang selalu bersama kebenar an, selalu bersama
al-Qur’an dan yang diberi mandat Rasulallah saw. untuk menjelaskan hal-hal yang
terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, setelah wafat Rasulallah
saw.. Tentu, bagi seorang Ahlusunnah wal
Jama’ah sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini. Karena
kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya didunia maupun di akhirat,
terkhusus bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita melakukan
kesalahan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahabi,
mudah menvonis sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan
vonis hadits lemah (dho’if),
tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.
Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhurah mengemukakan kisah peristiwa yang
diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:
“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam
Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau
itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah
telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka
ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai
Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64).
Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah, untuk mohon ampunan kepada Allah
atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan
kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk.
Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi
melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahukan kepadanya
bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.
Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah
bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir-nya mengenai
ayat An-Nisa : 64. Para pakar hadits lainnya yang mengetengahkan peristiwa
Al-‘Utbah ini ialah:
Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam
kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid
3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab
Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang
mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.
Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu tawassul kepada Rasulallah saw agar
beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu. Kalau ini bukan
dikatakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung berdo’a
kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?
Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang
sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi!
Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi
penghalang dengan langit’. Dia
(perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian
turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta
dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’
(sejahtera)”. (Lihat: Kitab
“Sunan ad-Darami” 1/56)
Hadits serupa diatas, yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu
Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza
bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota Madinah dilanda
musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah
saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata:
‘Datanglah kemakam Nabi saw. dan
bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun
juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga
rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa
banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab
Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang
bendahara Umar–. yang berkata:
“Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas
seseorang datang kemakam Nabi saw.
seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu,
karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah
seseorang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal
tersebut dalam kitab al-Futuh;
Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577).
Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini
tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam beliau yaitu yang
diketengahkan oleh Al-Hafidz Abubakar
Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu
Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari
Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari
A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai
berikut:
“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat
gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian
berkata: ‘Ya Rasulallah, mohon- kanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda.
Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi
Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan
sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus
bijaksana ...bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita
mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku),
mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’
“.
Hadits ini isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid
1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi
Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu
Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin)
pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah
sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin
Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul
Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.
Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits tersebut dan para imam
berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab yang mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini
yang mengatakan bahwa tawassul dengan makam Rasulallah saw. itu perbuatan kufur,
sesat atau syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan
hadits tersebut Palsu. Imam Ibnu Hajar
Al-‘Asqalany sendiri turut mengetengahkan dan membenarkan hadits tersebut.
Mengenai kedalaman ilmu, keutamaan perangai para imam yang mengetengahkan
hadits tersebut telah dikenal semua ulama tidak perlu keterangan yang lebih
jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil
tawassul kepada Rasulallah setelah
wafatnya, sahabat Nabi saw. ini bukan hanya berziarah saja kepada beliau
saw., tapi sambil mohon kepada Rasulallah saw. agar beliau saw. berdo’a kepada
Ilahi untuk menurunkan hujan.
Riwayat-riwayat tadi juga menguatkan bahwa berapa di kalangan sahabat Nabi
kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk
bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir telah meninggal
dunia.
Lantas apakah golongan
madzhab Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak
pernah mencontohkan perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap
ajaran syari’at Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang
muncul, apakah golongan ini berani
menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah karena
telah bertawassul kepada yang telah wafat? Pertanyaan semacam ini belum
pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan golongan pengingkar, karena
mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Sholeh seperti sahabat-sahabat
besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin Aisyah, istri
Nabi sendiri.
– Tawassul dengan hanya menyebut
nama Rasulallah saw.. Al-Haitsam
bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Ketika aku datang kepada
‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku
hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya: ‘Sebutlah
orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Muhammad’ !
Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang
terlepas dari belenggu “.
– Imam Mujahid
meriwayatkan hadits dari Abdullah
bin ‘Abbas sebagai berikut:
“Seorang yang menderita
penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah
bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu
menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu
Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari
riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam
terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus kepada pribadi yang
dianggap telah wafat.
– Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah saw.)
yang disebutkan oleh at-Tabrani dari
Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman bin
Hunaif. Disebutkan bahwa, “Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali
mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman
tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian
lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan
hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif
mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke
masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya, maka katakanlah: ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu
Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan
wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkan-lah
hajatku’ , kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan
mengiringimu’.
Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya.
Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin
‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya,
seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan
Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat
terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’. Ia (Utsman bin
Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah
(kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan
dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas
kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan
hajatku sehingga engkau telah
berbicaranya kepadanya tentangku.
Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang
kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi
oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya,
kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah,
aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda:
‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian
bacalah do’a-do’a berikut….’
(info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi
Rasulallah karena kehilangan penglihatannya, yang diriwayatkan dalam kitab
“Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu
Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: Demi
Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu
panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu
penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam
at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini
sahih)
– Al-Mundziri
(At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits
diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits
yang diriwayatkan At-Thabarani diatas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama
aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu
Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin
Al-Haitsami membenarkan hadits itu.
Lihat hadits diatas ini
contoh yang cukup jelas seorang yang diajari oleh Ustman bin Hunaif agar
urusannya dimudahkan oleh Allah swt. dengan berdo'a dan tawassul kepada
Rasulallah saw. sambil menyertakan dalam do’anya itu nama Rasulallah saw.
dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu tidak ada satupun sahabat yang
memprotes. Bila hal tersebut dilarang/diharamkan dalam agama Islam atau berbau
syirik maka tidak mungkin akan di amalkan oleh sahabat Nabi Utsman bin Hunaif
ini.
Utsman bin Hunaif ra.
pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulallah
saw. (baca haditsnya pada keterangan sebelumnya), kemudian Rasulallah saw.
menyuruh seorang tuna netra untuk wudu' dan sholat dua raka'at. Setelah sholat
seorang buta itu berdo'a pada Allah swt. sambil menyertakan nama Nabi saw.
dalam do'anya itu. Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulallah saw. memerintahkan
atau mengajari orang ini untuk berdo'a sambil tawassul dengan nama beliau.
Beliau saw. adalah contoh dari ummatnya semua perbuatan yang beliau lakukan
bakal ada ummatnya yang meniru dan beliau saw. tidak akan dan tidak pernah
menyuruh ummatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar dari akidah syariat Islam dan berbau kesyirikan !!
Sedangkan
hadits yang terakhir diatas Utsman bin Hunaif atas prakarsanya
sendiri mengamalkan cara berdo’a yang diajarkan Rasulallah saw. pada orang
buta tersebut. Peristiwa terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulallah saw.
pada zamannya khalifah ketiga.
Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulallah saw.yang mengajarkan
diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya namun ia juga
terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah
pemahaman sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah
sahabat Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulallah tentang tawassul
kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat? Jika
ada pengikut sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin
Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana
banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak?
Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/ istighotsah kepada
Rasulallah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman madzhab Salafi
(baca:Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya saja ‘wafat’,
tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang
diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju kepada
Allah swt.
Hadits-hadits tadi dan masih banyak hadits tawassul yang tidak
dikemukakan disini, semuanya jelas mengarah kebolehan atau legalitas dari
tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada madzhabnya, golongan
pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna hadits-hadits yang
berlawanan dengan paham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat Utsman bin Hunaif
–yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya,
sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagaimana pun,
kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.
Sebagaimana yang telah
kami kemukakan bahwa para ulama telah menulis mengenai bertawassulnya Nabi Adam
as. kepada Rasulallah saw. umpama; di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2,
halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari
Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya
Rasulallah saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani
meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir
dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu
Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya.
Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga
didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu
juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan
riwayat-riwayat yang lain.
Disamping itu, sesuatu
yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum
muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan
Rasulallah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul
kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama pun yang
memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan
Wahabi/Salafi dan pengikutnya
Begitupun juga soal minta
syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang
telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para
waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi
syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon
syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah
‘washithah’, tidak lebih dari itu !!
Allah swt. menetapkan
bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat kita dalam menunaikan sholat. Ini bukan
berarti kita disuruh atau menyembah Ka’bah tersebut, tapi tidak lain kita hanya
menghormati/ta’dzim pada Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci peninggalan
Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan pertama yang didiri
kan manusia dibumi sebagai tempat beribadah kepada Allah swt. Bila ada seorang
muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi Ka’bah karena ruku’ dan
sujud menghadap kearahnya atau mencium dan mengusap Hajar Aswad sebagai ibadah/penyembahan,
maka hancurlah keimanan dan keislaman-nya. Begitu juga sama halnya dengan
tawassul, kita berdo’a kepada Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah
kepada hamba Allah yang kita tawassuli tersebut !
Segala sesuatu dalam
kehidupan ini mempunyai wasithah. Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui
wasithah yaitu malaikat Jibril as. Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa para
sahabat sering mengadukan duka deritanya pada beliau saw. dan mohon dido’akan
oleh beliau agar memperoleh kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian beliau sendiri juga merupakan wasithah bagi para sahabatnya.
Beliau saw. tidak pernah bersabda pada sahabatnya jangan mengadukan nasibmu
padaku, atau kalian berbuat kufur atau syirik karena minta padaku tidak
langsung pada Allah swt., dan sebagainya. Para sahabat mengetahui pula bahwa
apa yang diberikan Rasulallah saw. pada hakekatnya adalah seizin Allah dan atas
limpahan karunia-Nya kepada beliau saw. Sebagaimana sabda beliau saw.:
وَإنَّمَا أنَا قَا سمٌِ وَاللهُ مُعْطيِ
“Aku hanyalah membagikan,
Allah-lah yang memberi”.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering juga mendengar dari saudara-saudara kita yang berkata;
Si A Penolong si B atau kebutuhan si A dicukupi oleh si B dan sebagai nya.
Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan mencukupi kebutuhan semua makhluk
adalah Allah swt. Minta pertolongan pada orang lain ini tidak dipandang sebagai
perbuatan syirik karena didalamnya tidak terdapat unsur mempertuhankan orang
yang dimintai pertolongan tersebut.
Tawassul itu merupakan
salah satu cara berdo’a dan juga merupakan satu cara menghadapkan diri kepada
Allah swt., sedangkan yang menjadi tujuan pokok hakiki/ sebenarnya adalah Allah
swt. Pihak yang kita tawassuli sudah tentu orang yang dicintai oleh orang yang
bertawassul padanya, dengan mempunyai keyakinan pula bahwa Allah swt. cinta
pada pihak yang dijadikan wasilah. Jika tidak demikian, tidak mungkin orang
akan bertawassul padanya. Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu kelaziman atau
keharusan hanya sarana yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya wasilah ini
sepenuhnya ditangan Allah swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak tertuju
kepada Allah swt.
Sebagaimana yang telah
kami kemukakan bahwa segenap kaum muslimin telah bersepakat cara berwasilah
dengan amal kebaikan, umpama orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an,
bersedekah dan lain sebagai nya tidak lain ia bertawassul dengan amal kebaikan
tersebut, bahkan ke mungkinan terkabul permohonan/ do’anya kepada Allah swt.
lebih dapat di harapkan. Tawassul dengan cara ini dengan amal kebaikan telah
di sepakati kebenarannya oleh para ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dalam
risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul Wal Wasilah’, karena ada hadits
Rasulallah saw. dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga orang yang tersekap di dalam goa
hingga tidak bisa keluar. Masing-masing berdo’a pada Allah swt. dengan tawassul
pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka amalkan) sendiri-sendiri. Orang
pertama bertawassul dengan amal baktinya pada orang tua. Orang kedua
bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri dari maksiat, sedangkan
orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga amanat dan menunaikannya
dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu do’a mereka dikabulkan oleh
Allah swt. akhirnya mereka bisa keluar dari goa tersebut.
Sedangkan letak perberdaan
pendapat para ulama yaitu bila bertawassul tidak dengan amal kebaikannya tapi
tawassul dengan pribadi orang lain seperti riwayat-riwayat yang telah
disebutkan sebelumnya. Sebenarnya pendapat-pendapat dalam hal ini hanya
mengenai bentuknya saja, bukan mengenai inti/pokok persoalannya. Sebab, pada
hakekatnya bertawassul dengan pribadi seseorang sama artinya dengan tawassul
dengan amal kebaikan pribadi yang ditawassuli itu. Karena pribadi orang yang
ditawassuli tersebut adalah pribadinya yang diyakini amal kebaikannya. Memisahkan antara keduanya sama halnya
memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat
hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt.
disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang
menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..
Pengertian
tawassul menurut Ibnu Taimiyyah:
Pengertian
tawassul Ibnu Taimiyah telah kami singgung sebelumnya, Ibnu Taimiyyah disalah
satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya
mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara
lain mengatakan:
“Mencari
washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat
dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti
tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah
wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup
maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak.
Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah
suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan
Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul
dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’)
ummat manusia.
Beliau saw.
adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh
manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari
kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya
masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling
besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai
Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi
Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun
dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw.
lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari
kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada
beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya
Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw.
diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan
mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal
perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan
Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu dibenarkan oleh syara’
dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.” Dari perkataan Ibnu
Taimiyyah diatas kita dapat diambil dua pengertian:
a). Seorang
Muslim yang taat, mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah saw. serta
mempercayai syafa’at beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawassul dengan
ketaatannya, kecintaannya dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau saw. Kita
bertawassul dengan Nabi kita Muhammad saw. dibawah kesaksian Allah swt., bahwa
tawassul kita itu benar-benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada
beliau saw. Tambah lagi dengan keyakinan kita bahwa beliau saw. adalah seorang
Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi martabatnya dalam pandangan
Allah swt.
Itulah yang
melandasi tawassul kita dengan beliau saw. dalam usaha mendekatkan diri kepada
Allah swt.. Tidak ada seorang pun dikalangan kaum muslimin yang dalam
bertawassul dengan Nabi saw. tidak dengan didasari pengertian seperti itu atau
pengertian-pengertian lain yang tidak semestinya. Hanya saja, ada yang dalam
bertawassul mengucapkan pengertian itu dengan lisan, ada pula tidak. Namun dapat dipastikan semuanya tidak mempunyai
pengertia selain itu.
b)
Ibnu Taimiyyah
mengatakan, bahwa barang siapa yang dido’akan oleh Rasulallah saw. ia dapat
bertawassul dengan do’a beliau. Mengenai itu kita mempunyai keyakinan, bahwa
Rasulallah saw. senantiasa mendo’akan ummatnya. Hal ini kita ketahui dari
berbagai hadits, antara lain yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra.: “Aku tahu
benar bahwa Rasulallah saw. orang yang baik hati, karena itu aku berani berkata
kepada beliau: ‘Ya Rasulallah, berdo’alah untukku’. Kemudian beliau berdo’a; ‘Ya
Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi ‘Aisyah atas segala dosanya dimasa lalu dan
dimasa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara
terang-terangan’. Aisyah ra tertawa. Kepadanya Rasulallah saw. bertanya:
‘Apakah engkau gembira mendengar do’aku? Ia menjawab: ‘Bagaimana aku tidak
gembira karena do’a anda’? Rasulallah saw. kemudian menegaskan: ‘Itulah do’a
bagi ummatku yang kuucapkan setiap sholat’ ”. (Hadits ini dikemukakan oleh
Al-Bazar dengan para perawi hadits shohih, dan Ahmad bin Manshur Ar-Ramadiy
sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab
Majma’uz-Zawa’id).
Karena itu
setiap muslim boleh bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. dalam memanjatkan
do’a kepada Allah swt. Misalnya dengan mengucapkan: “Ya Allah, Nabi dan Rasul-Mu Muhammad saw.
telah berdo’a bagi ummat nya, dan aku ini seorang dari ummat beliau. Dengan
do’a beliau aku bertawassul mohon kepada-Mu, ya Allah, agar diampuni segala
dosa dan kesalahanku dan dikarunia rahmat-Mu….” dan seterusnya menurut apa yang
di inginkan. Iapun boleh menyingkat do’a yang diucapkannya itu cukup dengan
menyebut: “Ya Allah kupanjatkan do’a kepadamu dengan bertawassul pada Nabi dan
Rasul-Mu, Muhammad saw….dan seterusnya”. Dengan kalimat singkat ini ia telah
mengungkapkan isi hatinya sesuai dengan kalimat dalam do’a yang panjang
sebelumnya. Dengan berdo’a seperti diatas ini tidak menyalahi ketentuan yang
telah disepakati oleh para ulama Islam!!
Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab ,Imamnya madzhab Wahabi/Salafi,
tidak mengingkari tawassul ?
Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab adalah orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul,
tetapi anehnya atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab
Al-Istifta:
“Tidak ada
salahnya orang bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia
mengatakan, ‘bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul
khusus kepada Nabi Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat
sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama
makhluk’.
Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia
mengatakan: ‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami
sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh,
tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami
pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang
kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta
(berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami
maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh
Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta
supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya’
“.
Demikianlah
antara lain yang dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam
Majmu’atul-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas
Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’ dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu
‘Abdul-Wahhab.
Dengan demikian
Muhammad Ibnul Wahhab melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh
menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun
bidah bahkan musyrik.
Sedangkan dalam
surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau
menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh, dan
menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri (pengarang kitab Burdah) atas
kalimat YA AKROMAL KHOLQ dan membakar kitab dalailul khoirot. Maka
beliau membantah sebagai berikut : “ Maha suci Engkau, ini adalah
kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada
warga majma’ah (surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh
Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang
diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal. 68).
Demikianlah Syeikh Abdul Wahhab.
Lepas dari itu semua, dengan adanya riwayat-riwayat baik dari Firman Allah
swt., Sunnah Rasulallah saw. maupun wejangan para ulama yaitu mengenai
tawassulnya Nabi Adam as. dan hamba Allah lainnya kepada Rasulallah saw. baik
beliau saw. masih hidup maupun telah wafat, kita tidak perlu mempersoalkan
apakah kisah ini benar atau tidak benar, shohih atau dho’if,
namun kenyataan membuktikan bahwa para ulama telah yang telah dikemukakan
tadi mencantumkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka. Mungkinkah para ulama –yang
sudah dikenal ketakwaan dan ilmu mereka ini– mencantumkan sesuatu yang berbau
kekufuran dan kesesatan atau kesyirikan?
Atau mungkinkah
mereka ini mengarang-ngarang seenaknya sendiri tidak mempunyai rujukan dalil
dari sunnah Rasulallah saw.? Apakah mereka ini telah
dituduh mempropagandakan penyembahan kepada hamba Allah atau kepada kuburan dan
lain sebagainya? Apakah semua riwayat tawassul itu semuanya palsu,
dikarang-karang oleh para perawinya? Dengan satu dalil/riwayat yang shohih
saja, sudah cukup sebagai dalil diperbolehkannya tawassul itu apalagi dengan
banyaknya riwayat tentang masalah tersebut. Renungkanlah !
Kami tambahkan ,berikut
ini, dalil-dalil bahwa sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun
ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih
tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau
saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri
pada Allah swt. pada hakekatnya berdasarkan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat
Allah dan Sunnah Nabi saw.
Hadits yang
dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat
kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dan
menilainya sebagai hadits shohih
sebagai berikut:
....
حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ
تُعْرَضُ عَلَىَّ
أَعْمَالَكُم
فَاِنْ
رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ
“Hidupku didunia ini baik
untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal
perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik,
kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang
buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.
Hadits ini telah kami
kemukakan dan jelaskan dalam bab 5 Ziarah Kubur... diwebsite ini.
Juga sabda beliau saw. yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :
مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى
أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ.
“Setiap salam yang
disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar
aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal
dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.
‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulallah saw bersabda:
قاَلَ رَسُولُ اللهِ.صَ.
اِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء
الْخَلآِئقِ،
فَلآ
يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدٌ أِلىَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ
أَبِيْهِ،
هَذَا
فُلآنُ اِبْنُ فُلآنٍ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ
“Allah
mewakilkan Malaikat didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh
umat manusia. Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan
shalawat kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama
ayahnya: si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu
Hibban disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)
Dari semua hadits tersebut
jelas buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap
salam yang disampaikan oleh ummatnya kepada beliau saw. Salam artinya
keselamatan, dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo'a keselamatan
dan ampunan untuk ummatnya.
Ibnu Taimiyyah sendiri
dalam beberapa kitabnya menegaskan bahwa ber tawassul dengan Nabi Muhammad saw.
diperbolehkan. Beliau tidak membeda-bedakan apakah tawassul itu dilakukan
orang selagi Rasulallah saw. masih hidup, setelah wafat, dihadapan beliau
sendiri ataupun diluar pengetahuan beliau saw. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
dan Al 'Izzu bin 'Abdussalam yang memperbolehkan orang bertawassul pun
diketengahkan juga oleh Ibnu Taimiyyah didalam kitab Al-Fatawil-Kubra. Ibnu
Taimiyyah juga mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam risalah yang
ditulisnya kepada Al-Maruzy berkata: Bahwa ia dalam berdo'a kepada
Allah swt. bertawassul dengan Rasulallah saw.
Apakah golongan pengingkar
ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian Al-Qur’an dan Sunnah
karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka?, sehingga ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan firman
Allah dan hadits-hadits agar orang-orang tetap tidak mengetahui
riwayat-riwayat yang telah di kemukakan tadi. Golongan pengingkar ini juga
berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah sajalah yang bisa diminta secara
langsung, dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
beberapa perantara antara Dia dan mahlukNya !
Kami juga ingin bertanya
lagisetelah adanya keterangan riwayat-riwayat dan wejangan para ulama pakar
dibuku ini pada golongan pengingkar tawassul/ tabarruk ini:
‘Apakah Rasulallah saw.
dan para sahabatnya yang menjalankan tawassul dan tabarruk tidak mengerti makna
nash Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mereka untuk melarang serta
mensyirikkan tawassul, tabarruk yang tercantum dilembaran buku ini ? Apakah
mungkin para ulama pakar yang sudah dikenal pribadi mereka sendiri mencantumkan
riwayat-riwayat yang berbau kesyirikan, kekufuran, dan penyembahan kepada hamba Allah swt.? Apakah
semua riwayat yang cukup jelas diperbolehkannya tawassul dan tabarruk itu,
bukan dianggap sebagai dalil tawassul/tabarruk, karena berlawanan dengan
pahamnya? Wallahua'lam.
Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah,
tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah
kami kemukakan bahwa Allah swt. berfirman:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah
adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang
baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S.
66:4)
Apakah kita benar-benar
menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang
beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan
Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah ?
Jika kita tetap memakai
pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah
sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya
terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak firman Allah swt. yang
mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.
Sedangkan dalam
hadits-hadits Rasulallah saw ,berikut ini, yang berkaitan dengan tolong
menolong antara hamba Allah swt. adalah:
Rasulallah saw bersabda:
وَاللهُ فِى
عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ
Artinya: Allah menolong
hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya.
Juga sabda Rasulallah saw:
إنَّ
لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ
فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
Artinya: “Allah mempunyai
makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak
orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah
orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
– Sebuah
riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal
perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya.
Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat
lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “.
(HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
– ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa
Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Jika seorang diantara
kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai
para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’.
Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap
memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin
Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat
ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.
– ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
“Jika seorang dari kalian
kehilangan sesuatu atau ia membutuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana
ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah
aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk
ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah
mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !
Riwayat ini
diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya,
kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid
ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat
lain yang tidak kami cantumkan disini.
Hadits-hadits diatas ini
juga membuktikan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan
(ghoib) juga mustahab.
Jadi sekali lagi
permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apapun
kecuali jika disertai keyakinan bahwa sebab utama pertolongan bukan dari
Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus
mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab
dan hanya sekedar washithah.
Diantara dalil-dalil orang
yang membantah serta jawabannya:
Walaupun sudah banyak
riwayat dan keterangan mengenai mustahabnya tawassul/istighotsah terhadap
pribadi yang mulia baik yang masih maupun telah wafat, masih ada saja
golongan yang melarang sampai berani mensyirikkan tawassul ini.
Tawassul/Istighotsah ini dilegalkan oleh agama dan tidak hanya dikhususkan
tawassul pada Rasulallah saw. saja, tetapi boleh juga tawassul pada waliyullah,
orang-orang sholihin lainnya.
Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk
atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut
ini:
Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit
Tauhid mengatakan:
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang
diperbolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad
saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.
Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh
‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai
dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan
lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang
menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan---pen). Mengenai
soal itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Sebagaimana yang
dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu
setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum
Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan
bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan
baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau
pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw.
dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan
pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat
oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.
Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak
membenarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw.
yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul
diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagaimana yang
dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan
(dalil/hujjah).
Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw,
yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.
Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia)
dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan
mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau
mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a
kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan
bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan
pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan
washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam
Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang
terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa.
Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya
sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah
batu besar yang menyumbat mulut goa.
Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal
kebajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagaimana
dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasulallah saw.
tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan
mengabulkan do’a mereka bertiga’.
Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil ,oleh golongan
pengingkar, untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan
orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali
untuk mendekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)
َلاَ تَدْعُوْا
مَعَ اللهِ
اَحَدًا
Artinya: “...Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan)
menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)
لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ
مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
Artinya: “Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar.
Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun
juga bagi mereka.” (QS.Ar-Ra’ad : 14)
Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lain yang semakna tidak pada tempatnya
dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka
hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandangan. Sebab,
ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal
tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat
tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt.,
sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a
kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !
Juga golongan pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :
وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ
الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْم لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ
لِنَفْسٍ شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
Artinya: “Tahukah
engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari
pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun
menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan
Allah” (QS.Al-Infithar:17-19)
Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran
tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli
taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama
yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan
menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap
muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.
Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng
gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:
لَيْسَ لَكَ
مِنَ الأَمْرِشَئُْ
“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan
mereka (kaum musyrikin)”. (QS.Ali Imran : 128)
Dan firman-Nya lagi :
قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلآ ضَرًّا
Artinya: “Katakanlah (hai
Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan
tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (QS.Al-A’raf : 188)
Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan
kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan
memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum
kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum
kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan
dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat
memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!
Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau
tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak
berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada
seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.
Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan
tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah
swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharapkan
syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan permohonan yang
diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada
didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani
mengenai soal tawassul.
Ayat Az-Zumar : 3 diatas
yang oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan barokah) itu tidak
tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; Kami tidak
mengambil barokah mereka melainkan...., tapi diayat ini menyebutkan;
Kami tidak menyembah mereka
melainkan.....
Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat
ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain
Allah. Mereka telah menyembah patung
itu dan menyekutu- kan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi
penyembahan adalah meyakini ‘sifat
ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu,
mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’.
Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu
bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori
menyembah.
Kaum musyrikin meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara bebas, dari Allah swt.
sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari
mereka dan memberikan manfaat kepada
mereka. Sedangkan soal tawassul atau tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah
sesuatu selain Allah’.
Ayat-ayat yang telah dikemukakan diatas, itu ditujukan kepada mereka yang
tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada
Allah swt. dan tidak berdo’a kepada
sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah.
Ayat-ayat diatas juga
menunjukkan sikap dan pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya
tidak dibenarkan. Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta
sesembahan lainnya yang mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya, bukan hanya sebagai
sekedar wasithah sebagaimana menurut ucapan mereka untuk mendekatkan
hubungan mereka dengan Allah.
Kalau kaum musyrikin
benar-benar memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah, maka mereka tidak akan
menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya. Juga kalau kaum
musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka tentu dalam perang
Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya
yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan pasukan
musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat
mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan
atau keimanan kaum musyrikin bahwa berhala Hubal bukan sebagai wasithah tapi sebagai Tuhan mereka, dengan sendirinya keimananan kaum musyrikin
jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang bertawassul tersebut.
Bila golongan pengingkar
tawassul ini konsekwen dan adil dengan berdalil surat Al-Jin:18 ini mereka
harus melarang semua orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang baik itu Rasulallah saw., para sahabat atau para
sholihin yang masih hidup maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu ‘....janganlah kalian berdo’a kepada
Allah (dengan) menyertakan
seseorang’ tanpa menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih
hidup. Tetapi sayangnya mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang
tawassul dan mengartikan ayat Ilahi dan
Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri dan secara tektstual, sehingga sering
berlawanan dengan pahamnya sendiri. Jadi tidak lain firman Allah swt.tersebut
ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan Allah swt. dengan sesembahan
yang lain, sedangkan orang yang bertawassul berdo’a dan menyembah kepada Allah
swt. dan tidak menyekutukannya!!
Selain telah kami singgung
baik dalam kajian sebelum ini maupun
kajian sesudah ini, bahwa beberapa
Nabiyyullah yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah
dan tawassul. Nabi kita Muhammad saw. sebagai penghulu para nabi dan Rasul
bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah swt.. pun telah
membiarkan orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul padanya. Jika
mencari berkah (baca mengenai
tabarruk pada kajian berikutnya) dan tawassul adalah haram, syirik atau perbuatan
ghuluw maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah orang yang pertama
yang menjauhinya, bahkan melarang
orang lain untuk bertabarruk atau bertawassul. Namun, mengapa justru mereka
malah melakukannya? Begitu juga para sahabat Rasulallah saw. dan para ulama
pakar telah mengamalkan semuanya ini.
Apa yang di-isukan oleh
golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang
dimaksud Al-Qur’an, hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam
madzhab, juga jauh dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.
Golongan pengingkar juga
berdalil pada hadits shohih berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi
bahwa Rasulallah saw. bersabda pada sahabatnya
sebagai berikut:
إذَا
سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ
الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ
يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ
, وَلَوِ اجْتَمَعُوْا
عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ
اللهُ عَليْـَكَ
“Jika
engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta
pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia
berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain
apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul
untuk mencelakakan dirimupun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan
dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.
Juga didalam Majma’ul Kabir Imam Thabrani
mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya Rasulallah saw. ada seseorang
munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum muslimin. Ketika itu Abu Bakar
r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita minta pertolongan pada Rasulallah
dari gangguan si munafik itu !’. Kepada mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu
tidak dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan
pertolongan kepada Allah”.
Masih banyak orang yang
memahami hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka berpedoman
semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah
syirik (keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua
macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh
hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw.
mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang
mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong
pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau,
sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali
anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan menolong anda
yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan ini adalah
Allah swt..
Hadits-hadits diatas tidak
bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah
tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah Allah swt.,
sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara, tidak lebih dari
itu !
Begitu juga kalau semua
pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar, syirik maka
Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi Sulaiman as
pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml : 38-40),
karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as. seorang
nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab
dan bisa minta langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada
ummatnya dalam hal yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak
memilik kedudukan nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan
washitah/ perantara bagi beliau.
Begitu juga riwayat nabi
Yusuf a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang tuna netra
disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf a.s., juga beliau setelah
mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf as bisa melihat kembali.
Padahal kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan
usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan
kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah meyakini
dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan terjadi
kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang itu sangat penting dalam syari’at Islam.
Mengapa nabi Yusuf a.s.
tidak langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat kembali tanpa harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ? Jadi ghamish itu juga
bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa dikatakan pengambilan
barokah (tabarruk).
Bila tawassul atau minta
tolong pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu dilarang/diharamkan oleh
agama, maka Rasulallah saw. tidak akan menceriterakan mengenai Nabi Adam as.
yang waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan riwayat-riwayat tawassul
yang telah kami kemukakan pada kajian sebelumnya.
Rasulallah saw. menerima
wahyu juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki bisa
menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus melalui
Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini,
semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap
meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal
lain-lainnya adalah Allah swt., sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya
sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul . Sekali lagi sudah tentu orang yang
ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan dicintai oleh Allah swt.
Penghormatan, pemuliaan,
tawassul dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang shalih lainnya
itu juga mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji dan dimuliakan.
Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir siang malam,
baik berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir. Berapa banyak
firman ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan kemuliaan dan
keistemewaan dan pahala orang-orang yang sering berdzikir.
Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :
اَلآ اِنَّ اَوْلِيَاءَ الله
لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكاَنُوْا
يَتَّقُونَ
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para wali
Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih
hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.
Hadits
Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami didalam Masnadul-Firdaus
berasal dari Mu’adz bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda
:
ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ
الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ
يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ.
“Ingat
kepada para Nabi adalah bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin adalah kaffarah
(menebus dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat kuburan mendekatkan kalian
kepada surga”.
Ibnu Babuwaih didalam
kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya
meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah
saw. pernah bersabda:
ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ)
عِبَادَة
“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.
Dengan adanya firman Allah dan hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil
kesimpulan bahwa para sahabat Nabi saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga
dicintai dan dipuji-puji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak
berdzikir pada Allah swt. Mengingat mereka saja
sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang
baik.Sebagaimana firman Allah swt.:
وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينِ
“Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang
tulus (Rasulallah, para sholihin). (At-Taubah : 119)
Perjalanan dan
gerak-gerik mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan Allah
swt. dan segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt. Dengan
demikian panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang selalu
makbul, tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan barokah) dari
tempat dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah pada Allah
swt dan sebagainya (baca kajian berikutnya). Wallahua'lam.
TABARRUK
Ada golongan yang keliru
dalam memahami tabarruk pada pribadi Rasulallah saw., ahlul baitnya dan
para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah, dan tabarruk dengan
bekas-bekas peninggalannya. Mereka kemudian menganggap setiap orang yang
menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang seperti ini
berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi masalah-masalah
tersebut.
Tabarruk berasal dari kata
Barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari
Allah swt. dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah swt.. Juga tabarruk
ini mempunyai pengertian sama dengan tawassul/istighotsah, yang telah kami
kemukakan tadi. Mereka yang menghukumi tabaruk atau tawassul
sebagai hal yang dilarang atau bahkan syirik, benar-benar telah
mengada-ngada dalam hukum syariat, karena tabaruk dan tawassul
adalah salah satu nilai yang diajarkan dalam agama Islam dan bukanlah hal baru,
sebab generasi sahabat dan para salaf telah meneladankan tradisi tersebut.
Dalam kitab-kitab sirah nabawiyah kita bisa melihat bagaimana para
sahabat begitu antusias untuk mendapatkan tetesan wudhu baginda Nabi saw. Tidak
lain yang mereka lakukan ini untuk mencari berkah dari air yang menyentuh tubuh
beliau saw, dan beliau saw tidak pernah melarang perbuatan mereka
tersebut. Ini menunjukkan bahwa berkah itu sesungguhnya ada, dan bisa
diraih lewat perantara orang-orang yang sangat dekat dengan Allah swt.
(silahkan baca kajian berikutnya tentang dalil-dalil tabarruk)
Terkadang Allah swt.
menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sebab
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Allah swt. juga menginginkan agar
manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu
dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan
khusus dimata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi
sarana memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit,
pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.
Tabarruk boleh dilakukan
dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu yang
digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya
pribadi Rasulallah saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan
sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah,
para ulama dan orang shalih lainnya, termasuk pusaka-pusaka
peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakamannya atau lainnya, yang juga
pernah mereka jamah atau mereka jadikan tempat untuk beribadah dan berdzikir
pada Allah swt.
Benda-benda pusaka atau
tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan karena benda
atau ruangan tersebut tapi karena kaitannya dengan kemuliaan orang
atau pribadi yang pernah memanfaatkan benda dan tempat tersebut dengan bertaqarrub
(mendekatkan diri) pada Allah swt. Sehingga pada benda atau tempat tersebut
pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi malaikat Allah hingga
menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tenteram. Inilah
keberkahan yang di minta oleh orang yang bertabarruk dari Allah
swt.
Juga syarat lainnya bahwa
orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana-sarana
(benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat mendatangkan manfaat
maupun madharat tanpa seizin Allah swt. Sebab semua
manfaat dan madharat berada dalam kekuasaan Allah swt. sepenuhnya
Berkah dan Tabarruk dalam
al-Quran
Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini
bahwa Allah swt. adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta.
Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Dia menciptakan dan
mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak
tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun
tidak tergantung kepada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan
hidupnya.
Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’
sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan
sebagainya, secara mendasar dan murni (esensial) berkah dan pemberian berkah
hanya berasal milik dan hak priogresif Allah swt. semata. Oleh karenanya, kita
jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. memberikan berkah kepada
makhluk-makhluk-Nya.
Contoh ayat-ayat yang Allah swt. telah memberkati seseorang, sehingga
berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang diberkati tersebut:
Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman:
“Hai Nuh, turunlah dengan selamat
sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang
mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…”
(QS Hud: 48).
Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman:
“Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati
orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya..”
(QS an-Naml: 8).
Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman:
“Kami limpahkan keberkatan
atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).
Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman:
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati
di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt
sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:
Allah swt. telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah:
“Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).
Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina:
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).
Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman:
“Maka tatkala Musa sampai
ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi,
dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda)
sampai pada pohon dan waktu. Sebagai
contoh:
Allah swt. telah memberikan berkah
kepada al-Qur’an:
“Dan Al-Qur’an itu adalah
Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).
Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun:
“Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah barat (nya)…” (QS an-Nur:
35).
Allah swt telah memberkahi air hujan:
“Dan Kami turunkan dari langit air
yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan
biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).
Allah swt telah memberkati waktu
malam dimana al-Qur’an turun (lailatul Qadar):
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah mengetahui obyek-obyek berkah
Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu,
apakah mereka juga mengambil berkah?
Allah swt. dalam al-Qur’an menjelaskan hal tersebut seperti yang
dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:
Dalam surat al-Baqarah ayat 248
Allah swt telah mengisahkan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap Tabut
(peti) yang didalamnya tersimpan barang-barang
sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman:
“Dan nabi mereka mengatakan kepada
mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan
keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
Menurut riwayat, ‘Peti’ itu adalah peti dimana nabi Musa waktu bayi telah
di letakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga di
temukan oleh istri Fira’un, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu
sebagai obyek untuk mencari berkah
(tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama
Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih
berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil
tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak di
jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka, Bani Israil
masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak
maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka Allah swt. menyembunyikan
peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit. Sewaktu mereka diuji dengan
kemunculan Jalut mereka mulai merasa
gunda. Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt
ketengah-tengah mereka. Allah swt. mengutus Tholut.
Melalui dialah para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini
mereka remehkan.
Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu
menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang
(melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan
sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun
firman Allah yang berbunyi ‘dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun’ , berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi
Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab
Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Mengenai Tabut itu, Ibnu
Katsir didalam kitab Tarikh-nya mengetengahkan keterangan yang
ditulis oleh Ibnu Jarir sebagai
berikut:
“Mereka yakni ummat yang
disebut dalam ayat diatas setiap berperang melawan musuh selalu memperoleh
kemenangan berkat tabut yang
berisi Mitsaq (Taurat). Dengan tabut
yang berisi sisa-sisa peninggalan
keluarga Nabi Musa dan Nabi Harun itu Allah swt. menciptakan ketenangan bagi mereka dalam menghadapi
musuh. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Tabut itu terbuat dari emas
yang selalu dipergunakan untuk mencuci (membersihkan)
hati para Nabi”. (Al-Bidayah
Wan-Nihayah jilid II hal. 8).
Dalam Tafsir-nya Ibnu Katsir juga
mengatakan, bahwa didalam Tabut itu berisi tongkat
Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua buah lembaran Taurat dan pakaian Nabi Harun. Sementara orang
mengatakan didalam Tabut itu terdapat sebuah tongkat dan sepasang
terompah.(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal. 313).
Al-Qurthubi mengatakan: “bahwa Tabut itu diturunkan Allah kepada Nabi
Adam as. dan disimpan turun-temurun hingga sampai ketangan Nabi Ya’qub as.,
kemudian pindah tangan kepada Bani Israil. Berkat
tabut itu orang-orang Yahudi selalu menang dalam peperangan melawan musuh,
tetapi setelah mereka berbuat durhaka kepada Allah, mereka dapat dikalahkan
oleh kaum ‘Amaliqah dan tabut itu berhasil dirampas dari tangan mereka
(kaum Yahudi)”. (Tafsir Al-Qurthubi jilid III/248).
Lihatlah, betapa Nabi yang
diutus oleh Allah swt. kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani
Israil untuk tetap menjaga peninggalan
Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa
mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah
memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut.
Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh
barakah itu maka Allah swt menguji mereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini
sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin
Allah swt.
Ummat yang disebut dalam
ayat diatas selalu bertawassul atau bertabarruk dengan Tabut yang mereka
bawa kemana-mana dan selalu menang didalam setiap peperangan. Apa yang
dilakukan oleh umat itu ternyata tidak
dicela atau dipersalahkan oleh Allah swt.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang
pribadi mulia seperti Nabi Ya’qub a.s. terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku (baju
Nabi Yusuf) ini, lalu letakkanlah dia
kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya
kepadaku” (QS Yusuf: 93).
Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah
saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub) yang buta akibat selalu menangisi
kepergian Yusuf pun akhirnya pulih penglihatannya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat barakah yang dicurahkan oleh Allah swt. kepada baju/gamis Yusuf.
Az-Zamakhsyari kembali
dalam kitab tafsir-nya menjelaskan
tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju
warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (do’a). Baju itu datang dari
Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di
baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang
mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan. (Tafsir al-Kasyaf jilid 2 hal.
503).
Tentu sangat mudah bagi Allah swt. untuk mengembalikan penglihatan Nabi
Ya’qub tanpa melalui proses
pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah dibalik itu. Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda
menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt. juga menginginkan agar manusia
mengetahui bahwa terdapat benda-benda,
tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan
karena mempunyai kedudukan khusus dimata Allah swt., sehingga semua itu dapat
menjadi ‘sarana’. Allah swt. memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a,
pensyafa’atan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.
Jika para Nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lalu bagaimana
dengan benda-benda (seperti: mihrab dan mimbar....), tempat
(seperti: rumah, masjid dan
makam...), waktu (seperti: peringatan hari wafat,
kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj..) dan mengenang
keutamaan (melalui bacaan kitab Burdah, Maulid Diba’, Barzanji ...) yang berkaitan langsung dengan pribadi
agung seperti Rasulullah saw., penghulu para Nabi dan Rasul, makhluk
Allah yang paling sempurna, sebagai- mana yang telah dicantumkan dalam berbagai
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shohih?
Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari bekas air wudhu Nabi saw.:
– ...Urwah
Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan pada kaumnya: “Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah aku
pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung pada kaisar
Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya seperti sahabat-sahabat mengagungkan
Muhammad saw. Demi Allah, jika ia meludah,
ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka.
Mereka usapkan ludah itu kewajahnya dan kulit- nya. Bila ia memerintah
mereka berlomba melaksanakannya, bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi
untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara mereka merendahkan suara
dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya”.(HR.
Bukhori 3 : 255)
Hadits yang semakna diatas, banyak diriwayatkan oleh para perawi dan
penghafal hadits yaitu kisah kedatangan Urwah
bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran
melihat prilaku sahabat terhadap Nabi saw., ia mengatakan –menjelaskan apa yang
dilihatnya–:
“Tiada beliau melakukan wudhu
kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera
(untuk mengambil berkah). Tiada selembar
rambut pun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain
disebutkan;
“Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak
tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya.
Jika beliau memerintahkan sesuatu
niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera
seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid
1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab
al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadits
panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman
219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid
3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab
Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).
– Thalq bin ‘Ali
meriwayatkan: “Kami keluar
(meninggalkan daerah) sebagai perutusan kepada Rasulallah saw. Setelah beliau
saw. kami bai’at, kami shalat bersama beliau. Kemudian kepada beliau kami
beritahukan bahwa kami masih mempunyai bi’ah (gereja atau kuil ). Kepada
beliau kami minta agar diberi sebagian dari sisa air wudhunya. Beliau
lalu menyuruh orang mengambilkan air, kemudian berwudhu dan berkumur
lalu menumpahkan bekas air kumurnya ke dalam sebuah tempat/wadah. Kepada
kami beliau berkata: ‘Pulanglah, dan setibanya didaerah kalian hancurkanlah
bi’ah kalian itu lalu siramlah
tempat itu dengan air ini, kemudian bangunlah masjid
diatasnya’. Kami katakan pada beliau bahwa daerah kami, amat jauh, dan air akan
menguap habis karena (dalam perjalanan) udara sangat panas. Beliau memberi
petunjuk: ‘Tambahkan saja air (kedalam wadah), air ini akan menjadi lebih baik’
“. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Misykat nr. 716).
Tidak ragu lagi bahwa
dalam jiwa perutusan itu terdapat rahasia
(semangat) yang amat kuat yang mendorong mereka minta air bekas wudhu
Rasulallah saw. Padahal kota Madinah tidak pernah kekurangan air dan didaerah
tempat tinggal orang itu sendiri banyak air. Mengapa mereka mau bersusah payah
membawa sedikit air dari Madinah ke daerahnya yang menempuh jarak cukup jauh
dan dalam keadaan terik matahari? Tidak lain adalah bertabarruk pada Rasulallah saw.dengan bekas air wudhu beliau.
– Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku
mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal
(al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi.
Orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barang siapa yang mendapatkan sesuatu
dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi
siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa
wudhu) yang berada ditangan temannya”.
Dalam lafadh itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lalu
beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk di jadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat:
Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu
Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan
an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5
halaman 398 hadits ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1
halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il
an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).
– Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin
Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah
mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling
mempercayai temannya–: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak
saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan (bekas) air wudhu beliau” (Lihat: Kitab
Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli
Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadits
ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi/menerangkan makna hadits tersebut menyatakan:
“Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau
gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya.
Hal itu sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat
lainnya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).
– Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul
seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur
Badho’ah kemudian beliau mengambil
wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian
beliau mencuci wajah- nya kembali, dan meludah
ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit
di zaman beliau maka beliau bersabda:
‘Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah’, maka ketika dimandikan, seakan
simpul tali itu telah lepas (sembuh)”. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra
jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
– Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit
yang tak kunjung sembuh, Rasulallah menjengukku. Rasulullah mengambil air
wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuh lah
penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih
al-Bukhari jilid 1 hal. 60 / jilid 7 hal. 150 / jilid 8 hal.185 dan jilid 9
hal.123).
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi
ber-wudhu pada sebuah wadah, kemudian (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur
milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul
Ummal jilid 12 halaman 422 hadits ke-35472).
– Sewaktu Rasulullah saw. datang ke pasar, beliau melihat Zuhair
berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya
lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuh dadanya.
Kemudian Zuhair merasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Dia berkata: ‘Aku
lantas mengusapkan punggungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau’ ”. (Lihat: Kitab
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadits ke-12237, Kitab
al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya
dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab
Sirah Dahlan jilid 2 hal. 267).
Hadits-hadits diatas ini
termasuk bukti yang cukup kuat dan terkenal, yang menunjukkan tabarruk kepada beliau saw. dan dengan petilasan (bekas) air wudhunya. Dengan petilasan air wudhu beliau saw. bisa
menyembuhkan penyakit. Setelah membaca hadits-hadits diatas dan hadits lainnya,
apakah orang masih egois dan fanatik kepada ulamanya, yang selalu menyangkal
adanya barokah pada pribadi
seseorang? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang
menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Ini juga harus dijawab dengan
adil dan konsekwen dari golongan pengingkar!
Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat kepada Nabi saw :
– Imam Muslim dalam kitab Shohih-nya jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada
jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara
gamblang tentang prilaku para Salaf
Sholeh dalam mengambil berkah Rasulallah
saw. untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah
jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf wau, bagian pertama, bab wau
kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan:
“Setiap bayi pada masa
hidup Rasulullah di hukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu
karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak
mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah
(tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: ‘Sewaktu Makkah ditaklukkan
(fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa
anak-anak mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau
yang kemudian beliau do’akan’ ”.
– Dari ummu Qais: “Suatu saat dia mendatangi Rasululah dengan membawa
serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Rasulullah
meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing dipakaian beliau.
Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak
mencucinya”. (Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 62 kitab al-Ghasl; Sunan an-Nasa’i
jilid 1 hal.93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am; Sunan
at-Turmudzi jilid 1 hal. 104; Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 93 bab Baul as-Shobi
Yushibus Tsaub; Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 174).
Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits ini memberikan beberapa pengertian,
penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi
dan pemberian berkah dari pribadi
yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran”
(Fathul-Bari jld.1 hal.326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadits ke-223).
– Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dahulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi
(kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“.( Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman
303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadits ke-223).
– Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru
melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk dido’akan”. (Lht.
Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4
hal.479 ; Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 hal.5 dalam Khutbah kitab,
bagian kedua).
– Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara
tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah
lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan dido’akannya.
Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada”. (Lihat: Kitab
al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian
kedua).
Tabarruk para Sahabat dari air dan sisa minum Nabi saw :
– Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasulallah mengambil air pada sebuah
tempat. Beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Beliau
bersabda: ‘Minumlah kalian berdua dari (air) itu, dan sisakanlah untuk muka dan
leher kalian berdua’”.(Shohih al-Bukhari jilid 1 hal.55 kitab al-Wudhu bab
Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).
Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air– adalah
untuk memberikan berkah
kepadanya (air)”. (Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal
Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).
– Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku
telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasulallah): ’Kenapa kamu melakukan hal itu’? Ia
berkata: ‘Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah
menyia-nyiakannya sedikit pun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya
maka aku akan meminumnya’”. (Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 hal. 575
hadits ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 hal. 109).
Tabarruk para Sahabat dengan keringat, rambut dan kuku Nabi saw:
– Nabi saw. tidur siang dirumah Ummu Sulaim, yang punya rumah menampung keringat beliau saw. pada
sebuah botol. Ketika Nabi saw. terbangun dan bertanya: ‘Apa yang engkau
lakukan?’. ‘Ya Rasulallah kami mengharapkan berkahnya untuk
anak-anak kami’. Nabi saw menjawab; ‘Ashabti, Engkau benar’ ! (HR.
Muslim 4 :1815; Musnad Ahmad 3:221-226).
– Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan
tikar kulit untuk Nabi, kemudian beliau tidur di atas hamparan tersebut.
Sewaktu beliau tertidur, ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan kedalam
botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi”. (Shohih al-Bukhari jilid
7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah
mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar
(terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin
Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang shahih dari
Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw. mencukur
rambutnya di Mina, Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya
kepada Ummu Salamah. Dia me letakkannya kedalam tempat minyak wangi. Ummu
Salamah berkata: ‘Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur diatas hamparan milikku
sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)’ ”. (Kitab Fathul Bari jilid 11
halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
Abu Hurairah ra berkata
bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. berkata: “Ya Rasulallah, saya akan menikahkan anak
perempuan saya, saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apapun. Nabi saw.
bersabda: ‘Aku tidak punya apa-apa’. Rasulallah saw.bersabda: ‘Tapi
besok datanglah padaku bawa botol yang mulutnya lebar...’. Pada esok
harinya ia datang lagi, Nabi saw. meletakkan kedua sikunya diatas botol
dan keringat beliau saw. mengalir memenuhi botol itu’”.
(Fath al Bari 6 : 417, Sirah Dahlan 2:255, Al Bidayah Wa Al-Nihayah 6 : 25).
Kita tidak tahu apa yang
dilakukan sahabat dengan sebotol keringat itu. Mungkin digunakan sebagai minyak
wangi –seperti Ummu Salamah– atau mewasiatkan pada ahli warisnya supaya botol
(walau keringatnya sudah kering) dikuburkan bersama jasadnya (seperti Anas bin Malik). Ini tidak lain mengenang dan
memuliakan Atsar (bekas) serta tabarruk yang berkaitan dengan orang
yang dicintai! Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meridhai perbuatan para sahabat tersebut. Beliau saw. juga sebagai
contoh bagi umatnya, bila perbuatan tersebut sebagai pengkultusan atau mengakibatkan
kesyirikan dan lain sebagainya, maka beliau saw. tidak akan mengizinkan dan
melakukannya.
– ‘Utsman bin
‘Abdullah bin Muwahhab menuturkan; “Keluargaku
menyuruh aku datang kepada Ummul Mu’minin Ummu Salamah membawa air dalam sebuah
mangkuk. Ia keluar membawa wadah air terbuat dari perak. Di dalamnya terdapat
beberapa guntingan rambut
Rasulallah saw. Ketika itu orang yang menderita sakit mata atau penyakit
lainnya mengirim pesuruh kepadanya membawa wadah (makhdhabah), yang lazim
digunakan untuk mencelupkan sesuatu. ‘Utsman bin Abdullah berkata lebih lanjut:
‘Aku mencoba melihat apa yang berada didalam genta, ternyata kulihat ada guntingan-guntingan
rambut berwarna kemerah-merahan’ ”. (HR. Bukhori dalam
kitabnya Al-Libas bab Mayudzkaru Fisy-Syaib).
Imam Al-‘Aini mengatakan,
bahwa keterangan mengenai soal diatas tersebut, sebagai berikut: “Ummu Salamah menyimpan sebagian dari guntingan
rambut Rasulallah saw., yang berwarna kemerah-merahan, ditaruh dalam sebuah
wadah seperti genta. Banyak orang diwaktu sakit bertabarruk pada
rambut beliau saw. dan mengharap kesembuhan dari keberkahan rambut tersebut.
Mereka mengambil sebagian dari rambut itu lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi
air, kemudian mereka meminumnya. Tidak lama kemudian penyakit mereka sembuh.
Keluarga ‘Utsman mengambil sedikit air itu, ditaruh dalam sebuah wadah dari
perak. Mereka lalu meminumnya dan ternyata penyakit yang mereka derita
menjadi sembuh. Setelah itu mereka menyuruh ‘Ustman mencoba melihat dan
ternyata dalam genta itu terdapat beberapa guntingan rambut berwarna
kemerah-merahan”. (Lihat ‘Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhori
jilid 17 hal. 79).
– Sewaktu Muawiyah akan wafat, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga
sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab
al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan
Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)
– Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata:
“Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab
at-Thobaqoot jilid 5 hal.406 tentang [tarjamah] Umar bin Abdul Aziz).
– Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut
Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang [tarjamah]
Anas bin Malik)
– Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau
di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini
adalah bagian rambut Nabi”. Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau
meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya
di letakkan pada lidahnya. (Lihat:
Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).
– Dari Abdullah bin Muhib,
beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa
gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari– dan
terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang
terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim
kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan
berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 hal. 207).
– Imam Ahmad bin Hanbal
dalam musnad-nya mengetengahkan
riwayat dari Ibnu Sirin yang
menuturkan bahwa; ‘Ubaidah As-Salmani menyampaikan hadits tersebut
kepadaku. Kemudian ia berkata:
‘Jika aku mempunyai sehelai saja dari rambut beliau saw., itu lebih kusukai
daripada semua perak dan emas serta apa saja yang berada di permukaan bumi dan
dalam perutnya’.
– Riwayat yang disebut
oleh Al-mala dalam As-Sirah: “Ketika
Abu Thalhah membagikan beberapa helai rambut Rasulallah saw. kepada
sejumlah orang sahabat, Khalid bin Al-Walid minta agar ia diberi rambut
ubun-ubun beliau saw. Abu Thalhah memberi apa yang diminta oleh Khalid.
Terbukti berkah rambut ubun-ubun
beliau itu Khalid sering meraih kemenangan dalam berbagai peperangan”. (
‘Umdatul Qari Syarh Al-Bukhori, Jilid 8 hal. 230-231).
– Dari Anas bin Malik ra,
beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang di pangkas rambutnya oleh tukang
potong, sedang para sahabat mengerumuni nya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan
disalah satu tangan mereka” (Kitab
shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 hal.83; Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal jilid 3 hal.591; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 hal. 68;
Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303; Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah
jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadits ke-11955).
Dari Abdullah bin Zaid,
beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju,
lalu beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi.
Kemudian beliau memotong kuku yang
kemudian diberikan kepada sahabatnya. Ia (Abdulah bin Zaid) berkata: ‘Kudapati
hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau’ “. (Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal jilid 4 hal. 630 hadits ke-16039; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi
jilid 1 hal.68; Majma’ az-Zawa’id jilid 4 hal. 19).
– Dari Abu Bakar, beliau
berkata: “Tiada Fath (penaklukan
tanpa peperang an .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu,
orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan
Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di
tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya
yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau
memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan.
Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak
mata- nya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga
beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahir Rahmanir
Rahim”. (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10
halaman 472 hadits-30136).
– Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah; ‘Kami
memiliki rambut Nabi. Kami
mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas’. Ia bekata: ‘Jika aku
memiliki selembar rambut saja maka
akan lebih kusukai daripada dunia beserta
isinya’ ”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 51 kitab al-Wudhu, bab
al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).
– Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Dari
mana engkau mendapatkan rambut itu?. Ia berkata: ‘Sesungguhnya sewaktu
Rasulallah mencukur kepala beliau dihaji maka orang-orang memisahkan rambutnya.
Kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya’ ”. (Lihat:
Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).
Jika rambut Rasulallah saw. seperti rambut kebanyakan orang, mengapa
para tokoh Salaf Sholeh mengharapkannya, bahkan menghendaki rambut itu dikubur
bersamanya sewaktu meninggal dunia, untuk pengobatan dan lain sebagainya?
Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah para tokoh Salaf
Sholeh melakukan kesyirikan? Apakah riwayat-riwayat yang telah dikemukakan
dan berikut ini yang jelas berkaitan dengan Tawassul, Tabarruk semuanya
dhoif/lemah, maudhu’, palsu walaupun diriwayatkan oleh
pakar-pakar ulama hadits, karena berlawanan dengan paham golongan pengingkar?
Ini yang harus dijawab oleh golongan pengingkar secara adil dan konsekwen !
Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas, piring Nabi saw :
Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadits, beliau berkata: “Suatu hari aku
mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah,
lalu beliau bersabda: ‘Berilah kami minum, wahai Saha!’. Kemudian aku keluarkan
gelas ini dan kuberi minum mereka
dengannya. (perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan
memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: ’Kemudian
Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya’”.
(Shohih al-Bukhari jilid 6 hal. 352 dalam kitab al-Asyrabah; Shohih al-Muslim
jilid 6 hal.103 bab Ibahat an-Nabidz lam
Yasytari wa lam Yashir Muskiran).
Dari Anas: “Sesungguhnya gelas
Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi
diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: ‘Aku melihat gelas itu dan minum
menggunakan gelas tersebut’ ”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman
47 dalam bab Bad’ul Khalq).
Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: ‘Engkau akan
kuberi minum dengan menggunakan gelas
yang pernah dipakai Nabi’”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam
kitab al-Asyribah).
Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta
kepada Nabi sebuah piring yang pernah
dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Beliau memberi- kannya kepadanya. Dia
berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: ‘Keluarkan
buatku piring Rasulullah. Aku
keluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan
meminum sebagian darinya, selebihnya ia percikkan ke wajahnya’ ”. (Lihat: Kitab
al-Ishobah jilid 3 hal. 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan
dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971; Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 hal.
352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202 dan Kitab Kanzul
Ummal jilid 14 hal. 264).
Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasulallah
dengan gelas bekas bibir Rasulallah, sehingga menyebabkan para sahabat mulia
yang tergolong tokoh Salaf Sholeh merebutkannya? Apakah perbuatan itu tidak
tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang terjerumus ke
dalam kesyirikan? Apakah golongan pengingkar berani menyatakan bahwa itu
perbuatan tercela yang diajarkan oleh para sahabat yang tergolong tokoh para
Salaf Sholeh? Mereka harus konsisten dengan pahamnya yang menyatakan bahwa perbuatan itu
adalah syirik, yang meniscayakan
bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.
Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi saw:
– Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah
Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub
berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas
mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa
(makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap
bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau
makanan yang terdapat bawang merah
dan bawang putih di dalamnya. Rasul
saw. menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya
kudatangi beliau dengan perasaan takut. Aku tanyakan: ‘ Wahai Rasulullah, demi
ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati
bekas tanganmu’ ? Beliau saw. menjawab: ‘Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu
bermunajat (maka menjauhinya), adapun kalian, makanlah darinya..’ ”. (Kitab
al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 hal. 201; Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 hal.
144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 hal. 510)
– Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau
mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah
(tempat air dari kulit) yang ter gantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian
beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi
berdiri. Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong
bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadits ke-26574 dan atau Kitab
at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)
– Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya,
Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati
Qirbah tergantung yang berisi air.
Beliau saw. meminum darinya. Kemudian kupotong
bibir Qirbah dan kuangkat, mengharap berkah
dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat:
Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid
5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243)
Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh golongan
pengingkar dengan jujur:
Apakah perbuatan yang
telah dikemukakan dalam bab tawassul dan tabarruk ini tergolong Syirik?
Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Sholeh
telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah golongan pengingkar
menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa
ajaran golongan pengingkar hendak menumbuhkan dan menyebarkan
ajaran para Salaf Sholeh? Salaf Sholeh yang mana yang hendak mereka hidupkan
ajarannya?, padahal segenap Salaf Sholeh membolehkan dan mengamalkan tawassul dan tabarruk ! Pikirkanlah!!
Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan Nabi saw :
Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam
syari’at Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada
telaah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para Salaf Sholeh telah bertabarruk
kepada peninggalan Rasul saw.,
setelah wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk
kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj
Salaf Sholeh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadits-hadits
di bawah ini:
Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: “Aku mendengar ayahku
berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata:
‘Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!’. Aku siram
kepalaku dengan air bekas siraman
Rasulullah…maka aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman’. Beliau saw.
memberikannya kepadaku. Selanjutnya berkata Muhammad bin Jabir: ‘Ayahku berkata
bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang
sakit untuk memohon kesembuhan’”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian
pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasulallah sama dengan milik kebanyakan orang,
mengapa dia meminta kain Rasulallah
untuk mendapat ketentraman (isti’nas)?
Dan buat apa air bekas siraman kepala
Rasulallah itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika
itu semua masuk kategori syirik, maka selayaknya golongan pengingkar tidak
perlu mengaku sebagai penghidup ajaran
dan manhaj Salaf Sholeh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Sholeh).
Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: “Anas menyuruh untuk
mengeluarkan sepasang sandal yang
memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Aku dengar
Tsabit al-Banani berkata: ‘Itu adalah sandal Rasulallah’ ”. (Lihat: Shohih
Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu
Sa’ad 1/478)
Jika sandal Rasulallah
sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan
ditabarruki, buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah
tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk
mengambil berkah dari Rasul, melalui
sandal beliau.
Dalam sebuah riwayat, Rasulallah bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong
walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di
neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal 4/357 hadits ke-14606 dan Fathul Bari
5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya
mimbar Rasulallah saw., menurut lisan Rasulallah sendiri, dan para sahabat
pun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid
bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasulallah saw. ketika
menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi
16/697 hadits ke-46389).
Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin
Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu
hendak meninggalkan masjid, mereka menyentuh
pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi
kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdo’a” (Lihat: at-Thabaqot
al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulalllah).
Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan
bahwa; “Beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas
mimbar, lalu mengusapkannya kewajahnya”. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254
tentang mimbar Rasulallah dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Hibban halaman 9). Jika
golongan pengingkar selalu menyatakan syirik buat pengambilan berkah –dari para
penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah dari mimbar Rasulallah,
maka apakah layak kelompok ini mengaku
sebagai ‘penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Sholeh’? Ataukah mereka lebih
layak disebut sebagai ‘penghidup bid’ah
menurut ajaran Khalaf Thaleh ?
Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadits
saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya
dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke tekts
aslinya.
Dalam beberapa riwayat dan hadits lain disebutkan bahwa, ada beberapa
hadits seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasulallah saw.
(al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6); para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasulallah dengan meniru bentuknya (Shahih Bukhari
7/55; Shohih Muslim 3/1656; an-Nasa’i 8/196; Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96
hadits ke-472); para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasulallah dengan memakainya secara bergilir dan
dijadikannya kafan (Shahih
Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16; Sunan Ibnu Majah 2/1177; Musnad Ahmad bin
Hanbal 6/456 hadits ke-22318; Fathul Bari 3/144 tentang hadits 1277); Muawiyah
bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang
Rasulallah untuk dibawa mati dan menjadi kafannya
(Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412; as-Sirah al-Halabiyah 3/242;Tarikh
Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19); hadits Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul
ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Shohih
Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur; Shohih Muslim 2/647; Musnad
Ahmad 7/556 hadits ke-26752; Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547
bab 34 hadits ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764).
Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi saw:
Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah
bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa
dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat
bahwa Rasulallah saw. juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Nafi’
berkata, ‘bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan
shalat di tempat-tempat itu’. Aku bertanya kepada Salim karena aku tak pernah
melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua
tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud
(masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’)”. (Shohih Bukhari
1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah
bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya
Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)
Dari hadits di atas itulah akhirnya Ibnu
Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil
pelajaran tentang disunnah kannya mengikuti peninggalan
dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Fathul Bari
1/469; menurut as-Shorim: 108
dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; ‘Sunnah melakukan shalat di
tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi’. Pernyataan yang sama juga
terdapat di kitab al-Isti’ab yang
sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).
Tetapi pada kenyataannya, mengapa
para muthawwi’ (rohaniawan sekte Wahabi)
berusaha menghalang-halangi para jama’ah haji yang ingin ber tabarruk dan
melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasulallah saw. yang beliau
pakai untuk beribadah dan shalat di sana, dengan alasan Rasulallah saw. dan
Salaf Sholeh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
Ibnu Atsir berkata bahwa, ”Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu
mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw., sehingga nampak beliau berdiam
di tempat (Rasulallah pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat
yang Rasulallah pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi
saw. (untuk berteduh) pun di singgahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu
menyiraminya agar tidak mati kekeringan”. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340,
terjemah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit
perbedaan redaksi– juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
2/269 hadits ke-5968, Shohih Bukhari 3/140; Shohih Muslim 2/1981)
Apakah tabarruk Ibnu Umar
tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasulallah? Apakah mungkin pribadi mulia nan
agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasulallah
saw.? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Sholeh tidak pernah menegurnya,
bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah golongan
pengingkar menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka
anggap syirik itu? Ataukah mereka ini akan memutar balik makna riwayat-riwayat yang berkaitan Tawassul, Tabarruk sampai
sesuai dengan pahamnya?
Dari Anas bin Malik; “Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar
Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat
mengambilnya (bekas tempat shalat Rasulallah) sebagai mushalla. Rasulallah pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki
tikar dengan air, kemudian Rasulallah melaksanakan shalat di atasnya yang
di-ikuti oleh beberapa sahabat lainnya”. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268
kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).
Dari Anas bin Malik; “Salah seorang pamanku membuat satu
makanan, lalu berkata kepada Nabi: ‘Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk
makan dan shalat’. Dan (Anas) berkata: ‘Beliau saw. datang ke rumah sedang di
rumah terdapat batu-batu (hitam). Beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang
telah dibersihkan. Kemudian beliau saw. melakukan shalat, kami pun mengikutinya’ ”. (Sunan Ibnu Majah
jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756;
dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad atau
dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)
Suatu saat, datang Atban bin Malik salah seorang sahabat Rasulallah dari
Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasulallah saw. kepada Rasulallah
seraya berkata: ‘”Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku, aku
melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang
membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat
melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka ‘Wahai Rasulallah, aku mengharap engkau
datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku’. Rasululah saw
bersabda kepadanya: ‘Aku akan melaksanakannya, insya-Allah’. Atban berkata:
Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasulallah besama Abu Bakar.
Kemudian Rasulallah meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau
tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; ‘Dibagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?’. Aku
tunjuk satu sudut yang berada di
rumahku. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun turut berdiri dan mengambil
saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”.(Shohih Bukhari 1/115,
170 dan 175; Shohih Muslim 1/445, 61& 62)
Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan
benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk
al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang
disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk
menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada
tempat dan benda’. Mengenai komentar Al-Ulyani
lihat dan baca kajian selanjutnya yaitu pada kalimat Golongan Wahabi/Salafi
mengisukan di bab ini.
Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw:
Pada kajian lalu telah kami sebutkan beberapa hadits yang menjelaskan
bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah dari
peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju, bahkan
mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkannya ke wajahnya.
Semua perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan madzhab Wahabi
(Muttauwi’) terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat terhadap mimbar Rasulallah saw..
Kajian dan telaah kami berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kuburan/Pusara’ yang
jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul
Wahhab, yang sering mengatakan penghidup ajaran para Salaf Sholeh (Salafi).
Padahal kalau kita teliti paham mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran
Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah
wal Jama’ah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kuburan/makam Rasulullah saw. Kaum
muslimin yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas
mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan madzhab Wahabi itu, ketika
mereka hendak mengusap tempat-tempat
yang para sahabat Rasul saw. juga mengamalkannya.
Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke
Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas
makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: ‘Sadarkah apa yang
telah engkau lakukan?’. Kemudian lelaki itu menengok kearah Marwan (ternyata
lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan: ‘Ya, aku bukan
datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasulallah’. Aku pernah
mendengar Rasulallah bersabda: ‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli)
maka janganlah menangis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh
yang bukan ahlinya maka tangisilah’ ”. (Lihat:
Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560
Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404).
Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam kitab-kitab: Ibnu Hibban
dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam Mu`jam al-Kabir (4:189)
dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam al-Zawa'id (5:245), Al-Hakim
dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan juga, al-Subki didalam Shifa'
al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam
al-Zawa'id 4:2). Hadits di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah
dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli
hadits lain yang meragukannya.
Atas dasar hadits diatas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad
haditsnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh
tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan
apalagi hukum haram, sebagai
perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh madzhab
Salafi (baca: Wahabi).
Hadits diatas itu jelas
menunjukkan disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari makam Rasulallah saw.
Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan
barokah semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah
sebagaimana yang dianggap oleh kaum Wahhabi. Bila tidak demikian mengapa Abu
Ayyub ra. tidak cukup beri salam dan berdo’a kepada Allah swt. tanpa di iringi
dengan menempelkan wajahnya diatas
pusara Nabi saw.? Dalam konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu
Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah, karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap
bersikeras melarang perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi munkar tidak perduli
siapa yang berbuat (baik itu sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah
perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan
tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah Abu Ayyub?
Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan teguran para
muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat suci di Saudi Arabia.
Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis syirik, bukan karena rasa khawatir
syirik, tidak lain karena kesalahan mereka dalam memahami dan mempraktekkan
kaidah Syadzudz Dzarai dan dalam
menentukan tolok ukur antara Tauhid dan syirik.
Bila apa yang dilakukan
Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar
Rasulallah itu tergolong perbuatan
syirik (sebagaimana paham kaum Wahabi)
maka mungkin- kah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan
syirik atau akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan kekufuran atau
kesyirikan? Sudah Tentu Tidak Mungkin!
Beranikah golongan pengingkar
menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah
kubur (quburiyuun)?
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal
(al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan
Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan
ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau
menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari
tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Bilal
mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama,
Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium
keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137; Usud al-Ghabah karya Ibnu
Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4 hal. 289, dan Siar A’lam
an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari
beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak
demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk
menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat
sebagaimana anggapan golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah
tiada maka Bilal tidak perlu
menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa
dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah
dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur
sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan dalil untuk memecahkan hukum syariat,
namun mimpi dapat dijadikan dalil sebagai manakib, sejarah dan lainnya.
Misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu
dijadikan dalil atas kebangkitan Nabi saw. Dan masih banyak riwayat mengenai
kisah mimpi para Rasul dan para sahabat Nabi saw, yang diakui oleh para imam
yang meriwayatkannya, dan tidak mengingkarinya.Tentunya hal itu menjadi dalil
bagi kita, tentang kebenaran riwayatnya.
Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di
atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4
Halaman: 1405)
Apa maksud Ibnu Umar dan
Bilal meletakkan tangan di pusara Rasulallah? Mengapa ulama madzhab Wahabi
menvonnis syirik kepada penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup
pusara Rasulallah saw. dan kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua
hadits yang telah dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya,
karena berlawanan dengan pahamnya?
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah
dikebumikan, Siti Fatimah –puteri Rasul satu-satunya– bersimpuh disisi kuburan
Rasulallah dan mengambil sedikit tanah
makam Rasulallah kemudian diletakkan diwajahnya
dan sambil menangis ia pun membaca beberapa bait syair….”. (al-Fatawa
al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 hal.18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2
hal.340, Irsyad as-Sari jilid 3 hal. 352 dsb.nya)
Jika apa yang dilakukan
Siti Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya?
Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah
Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan
Bid’ah yang dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasulallah yang
tergolong Salaf Sholeh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahabi ?
Seorang Tabi’in bernama Ibnu
al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kuburan
Rasulallah). “Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabat nya,
seketika lidahnya kelu dan tidak
dapat berbicara. Beliau langsung bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan
meletakkan dagunya di atas pusara Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal
itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat
aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2
Halaman: 444).
Imam Ahmad ibn Hanbal; Imam Madzhab Hanbali dalam kitab al Jami’ fi al
‘Ilal wa Ma’rifati ar-Rijal. menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan
tangan di atas makam Nabi Muhammad s.a.w, menyentuh mimbarnya dan mencium makam
dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah dengan bertabarruk.
Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman:
544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in)
sering mengambil tanah dari
pusara Rasulallah. Aisyah (ummul mukminin) ra. membangunnya dan menutup
pusara itu dengan terali. Dikatakan: ‘Ditutup olehnya (Aisyah) karena
menghindari habisnya tanah pusara dan
kerusakan bangunan di atasnya’ ”.
Masihkah golongan
pengingkar yang mengatas namakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran
Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap
peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara esensial
pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik maka setiap pelakunya harus
diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasulallah atau pun orang awam biasa
! Beranikah golongan ini menjuluki mereka sebagai
“para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?, sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang
suka mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah
(Waliyullah) lainnya?
Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk:
Pertama-tama, kita akan melihat beberapa tekts tentang: apakah
diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ Tabi’in dan para manusia sholeh dan bertakwa pasca masa mereka? Kita di
sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat satu
dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita
tahu bahwa ,menurut Ahlusunah wal Jama’ah, para sahabat adalah Salaf
Sholeh yang layak ditiru dan diikuti.
Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5
hal. 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam
Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah
meminta do’a hujan melalui ‘Abbas (paman
Rasulallah) sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan
menyatakan: ‘Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami
bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan
kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka
turunkanlah hujan bagi kami. Kemudian turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga
menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam
kitab sejarahnya dengan sanad yang shahih).
Dalam kitab yang sama diatas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta
hujan melalui Yazid bin al-Aswad
dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang
paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya Allah, kami meminta
hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu
kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang
berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali
ke rumah masing-masing”.
Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih
al-Bukhari) pada jilid 2 halaman 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan
hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu
pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunnah) untuk meminta
hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.
Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167)
dalam menjelaskan tentang pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada
nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun
hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang
dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai
rujukan dalam bermusyawarah”.
Sewaktu Umar bin Khatab melamar
Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: ‘Aku ingin masuk
menjadi bagian dari Rasulallah’.
As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448)
menyatakan bahwa; ”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi
yang ber- hadapan dengan kuburan
(Rasulallah, red). Di situ terdapat pintu Rasulallah yang didepannya terdapat
jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah).
Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah.
Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: ‘Tiang tempat
shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat
suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu,
hingga hari ini’. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan ‘Tempat para
Pemimpin’ (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ
(yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.
Dalam kitab yang sama di atas, as-Samhudi
(pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi
lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi saw. terletak di ruangan
segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata
kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin
Abi Thalib selalu melewatinya’ ”.
Ibn Sa’ad dalam kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107)
menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib
meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang
sedang menggali sumur. Ia berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini
tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk
mendo’akan kami kepada Allah dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit
air yang kau punya’!. Kemudian diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya
sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam
sumur. Seketika itu sumur menjadi memancarkan air dengan melimpah” .
Ibnu Hajar dalam kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310
pasal ke-3 tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota
Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan
kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian
(sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju
dan melumuri dengan tanah, juga men- ciumi tanah
bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam
kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa
al-Kadzim)
Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah
bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan
dan ketaatan dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil
berkah dari orang-orang sholeh dan dianggap
lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Sholeh
telah melakukannya.
Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan
derajat ketakwaan dan keutamaan di antara mereka. Dan dari nukilan
riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang
Sholeh dan bertakwa saja yang dapat diambil
berkahnya, baik pribadi orang Sholeh itu, do’anya maupun
peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak sholeh dan takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan
Ilahi, maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.
Dari riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab
anggapan orang-orang seperti al-Jadi’
dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu”
halaman: 261 dan as-Syatibi -dalam
karyanya yang berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana keduanya
sepakat bahwa; ‘Tabarruk hanya
diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasulallah saja’. Hal itu karena
mereka beralasan bahwa Rasulallah tidak
pernah memerintahkannya. Selain
itu, alasan lainnya adalah; ‘Tidak ada
riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini’ (tabarruk kepada
pribadi selain Nabi). Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang
melakukan hal itu maka tergolong bid’ah,
sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini
perempuan lebih dari empat’.
Telah jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah
mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi
ketakwaan. Entahlah mengapa al-Jadi’ dan
as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu?. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat
adalah bid’ah, mengapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah melakukan Bid’ah,
karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat seperti
Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai
ahli Bid’ah?
Walaupun Rasulallah saw. tidak pernah
memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis bertabarruk selain kepada beliau
saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram
dan sebagainya. Mengapa justru al-Jadi
dan as-Syatibi berani melarangnya?, sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak
pernah melarangnya !
Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditkemukakan bahwa
selain peninggalan Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk
diambil berkah- nya sewaktu masa hidup mereka, bagaimana dengan perkara
tadi setelah kewafatan mereka?
Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah kita (kaum muslimin)
mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Sholeh dan
bertakwa?
Apakah pengambilan berkah
dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan
untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah
mati) dan kuburan mereka?
Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung sebelumnya bahwa
para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah akan kita jelaskan
berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh yang masih hidup saja,
bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak
seperti sangkaan golongan pengingkar yang dengan tegas menyatakannya sebagai
perbuatan syirik.
Jenazah dan Kuburan/Pusara Ulama yang Diambil Berkah:
Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama Ahlussunnah dari
berbagai madzhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari berbagai peninggalan Nabi saw.
setelah wafat beliau terkhusus pusara suci
beliau saw. dan dari para manusia sholeh lainnya, kini kita akan
melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini
kepada kuburan para sahabat Rasulallah saw. dan ulama mereka.
Kuburan Bilal al-Habsyi
–seorang sahabat besar dan muadzin Rasulallah– yang berada di Damaskus (Syiria)
adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan Rasul-Nya yang selalu
diziarahi dan diambil berkah oleh
banyak dari kaum muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari
berkah darinya, namun para Waliyullah pun turut berdo’a dan mengambil berkah
darinya. (Lihat: Rihlah
bin Jubair halaman: 251)
Kuburan Abu Ayyub al-Anshari
(di Istanbul, Turki) juga termasuk yang di ambil berkahnya. Al-Hakim
an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala
as-Shohihain jilid: 3
halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah al-Shofwah jilid: 1 hal.
407)
Makam sahabat besar Suhaib ar-Rumi
juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan as-Samhudi sendiri pernah mencoba
tanah kuburannya untuk mengobati demam.
Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin
Abdul Mutthalib –paman Nabi dan penghulu para syahid– dimana as-Samhudi
menukil ucapan az-Zarkasyi yang menyatakan: “Tanah
makam Hamzah di ambili oleh orang-orang untuk pengobatan”. ( Wafa’
al-Wafa’ jilid 1 hal. 69).
Salah seorang sahabat Rasulallah saw. yang bernama Abu ‘Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari yang dalam kitab Siar A’lam an-Nubala jilid 1 halaman 279
disebutkan bahwa kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang kuburan- nya menjadi
salah satu tempat pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah pekuburannya kemudian
membawanya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya
as-Samhudi jilid 1 halaman 115)
Makam Umar bin Abdul Aziz salah
seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H) menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang
diceritakan oleh adz-Dzahabi. (Tadzkirah
al-Huffadz jilid 1 hal. 339).
Pusara salah seorang cucu
Rasulullah yang bernama Imam Ali bin
Musa ar-Ridho yang kuburannya
berada di Thus juga menjadi obyek
ziarah dan pencarian berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika
kami keluar bersama Imam ahli Hadits Abu
Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah
Abi Ali ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang
ingin menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus. Beliau mengatakan: ‘Aku
melihat betapa penghormatan, kerendahan dan perendah- an dirinya –yaitu Ibnu
Khuzaimah– terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya’ ”. (Tahdzib
at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani jilid 7 hal. 339)
Abdullah bin al-Haddani yang
terbunuh (syahid) pada ‘hari Tarwiyah’ di tahun 183 H juga merupakan salah
seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah kaum muslimin. Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat misik yang kemudian
mereka taburkan di baju mereka.
(Lihat: Hilliyatul Auliya karya Abu Na’im al-Isbahani jilid: 2 halaman:
258 atau kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani jilid: 5
halaman: 310)
Kuburan Ma’ruf al-Karakhi pun
termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu al-Jauzi dalam hal ini
menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak menonjol dan diambil
berkahnya. Ibrahim al-Harbi mengatakan: ‘Kuburan Ma’ruf adalah obat yang mujarab’ ”. (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman: 324)
Kuburan al-Khidr bin Nashr
al-arbali (wafat tahun 567 H) seorang ahli fikih dari mazhab Syafi’i
kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku telah
menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni kuburannya dan
mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa
an-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 12 halaman: 353)
Kuburan Nuruddin Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah
pejuang dan penguasa negeri Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12
Halaman: 306)- juga termasuk yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya berada di
Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak wangi dan
dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah wa
an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)
Kuburan Imam al-Bukhari
(pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau,
menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol.
Sampai-sampai para penjaga tidak mampu menjaga kuburan tersebut. Kami telah
melupakan diri kami sendiri, lantas kami menyerbu kuburan tersebut
bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai kekuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot
as-Syafi’iyah jilid: 2
halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi jilid: 12
halaman: 467)
Dan masih banyak lagi kuburan lain yang menjadi pusat ziarah mau pun
pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak, Syiria, Mesir,
Pakistan, Yordania, Yaman, Iran, Indonesia, Malaysia, Singapore dan
negara-negara lainnya. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para kekasih
Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya dan mencari
berkah darinya, berdasarkan syariat
Islam yang diajarkan oleh Rasulallah melalui sahabat-sahabat mulia beliau,
yang menjadi sandaran kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa
legalitas bertabarruk.
Jika hal tersebut tetap dinyatakan oleh golongan pengingkar sebagai
perbuatan ghuluw, syirik, maka apa kata mereka ketika
melihat kuburan dan jenazah Ahmad bin
Hanbal yang diakui sebagai Imam hadits mereka dan jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan sama semacam itu oleh kelompok
dari mereka sendiri?
Marilah kitab baca apa yang terjadi dengan kuburan Imam Ahmad bin Hanbal
dan jenazah Ibnu Taimiyah:
Ibnu Hanbal:
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan
masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah. (Lihat:
Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah halaman: 14)
Ibnu Taimiyah:
Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’) jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan
jenazahnya memenuhi jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru
sehingga kerumunan kian bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban
mereka di atas keranda guna mengambil
berkah. Kayu-kayu keranda jenazah banyak yang putus akibat terlampau banyak
orang yang bergelayutan. Mereka juga meminum
air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, bekas memandikan
jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; ‘Benang yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya untuk
menghalau kutu-kutu pun mereka beli
dengan harga seratus lima puluh dirham”.
(Lihat: al-Bidayah wa
an-nihayah jilid: 14 hal. 136 atau pada kitab al-Kuna wa al-Alqob
jilid: 1 halaman: 237).
Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang mati) adalah syirik atau bid’ah, maka penziarah kubur Imam Ahmad bin Hanbal semuanya para
ahli bid’ah dan kaum musyrik. Lebih kasihan lagi
pengantar jenazah Ibnu Taimiyah,
betapa tidak, karena para pengantar jenazahnya berebutan untuk mengambil
barokah dari keranda, minum air bekas memandikan jenazah beliau dan lain
sebagainya.
Mari kita rujuk lagi macam-macam
bentuk riwayat lainnya yang berkaitan dengan Tabarruk.
– Samiri,
(pada zaman Nabi Musa as.) yang mengambil barakah dari tanah dimana
Jibril as melaluinya. Ketika Samiri mengambil
dan melemparkan tanah pada patung
anak sapi yang dibuatnya, patung jadi bisa bersuara, karena berkah dari tanah bekas jejak malaikat Jibril
as.tersebut. Firman Allah swt:
قَالَ
بَصُرْتُ بِمَالَمْ يَبًْصَرُوْا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ اَثَرِالرَّسُوْلِ
فَنَبَذْتُهَاوَكَذَالِكَ سَوَّلَتْ لِى نَفْسِى
Artinya:
(Samiri menjawab): "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui
nya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya,
dan demikianlah nafsuku membujukku". (S
Thaahaa [20] ayat 96)
Hampir semua ahli tafsir
menginformasikan bahwa yang dmaksud dengan jejak Rasul dalam ayat
diatas adalah jejak malaikat Jibril a.s.
Begitu juga firman
Allah swt. agar menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim as. waktu membangun
Ka’bah sebagai tempat sholat:
..’Dan jadikan lah
sebagian maqam (tempat berdiri)
Ibrahim tempat sholat’. (Al-Baqarah :125). Disini menunjukan
bahwa Allah swt. memuliakan Rasul-Nya Ibrahim as. dan menjadikan tempat
berdirinya beliau sebagai tempat yang mulia yang dianjurkan manusia untuk
melakukan sholat pada tempat tersebut dan pengambilan barokah.
Firman Allah swt. kepada
Nabi Musa a.s.: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa“.
(QS Thaahaa:12).
Allah swt. sendiri
menyatakan lembah Thuwa adalah tempat
yang suci sehingga Nabi Musa as. ditempat ini diperintahkan untuk menanggalkan
terompahnya sebagai penghormatan (ta’dhim) pada tempat tersebut. Ini bukti
bahwa ada tempat-tempat yang disucikan oleh Allah swt. Apa mungkin Allah swt.
memerintahkan sesuatu yang berbau syirik ? Sudah tentu tidak mungkin! Dengan
demikian kita harus bisa membedakan antara ta’dhim/ penghormatan dan ibadah !
Silahkan juga rujuk
tentang riwayat para sahabat percaya bahwa rumah yang pernah dimasuki
Rasulallah ada barakahnya. (Bukhari,jilid 5, Buku 58, nomer 159, Ahmad Musnad
3:98 #11947, Bukhari, jilid 7, Buku 71, Nomer 647, Malik in al-Muwatta; Buku 50
nomer 50:4:10, Abu Dawud, 41: 5206).
– Aun bin Abi juhaifah menceritakan dari
ayahnya para sahabat yang bertabarruk dengan air sisa wudhu'
Rasulullah saw :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ أَدَمٍ وَرَأَيْتُ بِلَالًا أَخَذَ وَضُوءَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يَبْتَدِرُونَ الْوَضُوءَ فَمَنْ
أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا تَمَسَّحَ بِهِ وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ شَيْئًا أَخَذَ
مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ ، رواه البخاري ومسلم واحمد
"Aku mendatangi Rasulullah saw sewaktu beliau ada di kubah hamra' dari Adam,
aku juga melihat Bilal membawa air bekas wudhu Rasulullah dan orang-orang
berebut mendapatkannya. Orang yang mendapatkannya air bekas wudhu itu
mengusapkannya ke tubuhnya, sedangkan yang tidak mendapatkannya, mengambil dari
tangan temannya yang basah.” (H,R Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
– Mu’adz Ibnu Jabal
dan Bilal (ra) datang kemakam Nabi duduk menangis dan mengusapi mukanya
dengan tanah itu. (Ibnu Majah 2:1320).
– Nabi memerintahkan para sahabat untuk
mengambil berkah dari
sumur di mana onta betina Nabi Sholeh minum disitu.
(Bukhari, jilid 4, Buku 55, no 562).
Menurut riwayat sumur Nabi
Sholeh a.s.ada dikota ‘Asir di Saudi
Arabia dekat perbatasan Yaman. Banyak para sahabat waktu itu diantaranya; Ali
bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Abu Musa Al- Asy’ari (ra) diutus oleh
Rasulallah saw. ke Yaman dan sahabat lainnya diutus untuk dakwah keluar
kenegara-negara selain Hijaz (sekarang Saudi Arabia) misalnya Khalid bin Walid
ke Najran, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif dan sebagainya.
Nah, kalau sumur yang
ontanya Nabi Sholeh as pernah minum air disana berapa waktu silam sebelum zaman
Nabi saw. saja masih bisa menjadikan barokah
apalagi bekas-bekas peninggalan manusia yang mulia dan taqwa yakni
Rasulallah saw. atau para sahabat dan para waliyullah yang mana mereka semua
dimuliakan oleh Allah swt. Jadi penghormatan serta peng ambilan barokah
dari tempat yang suci tidak sama dengan menyembahnya !
Khalifah Umar ra.
ketika mengunjungi Ka’bah berkata pada Hajar Al-Aswad: ‘Kamu tidak bisa
apa-apa, tapi saya menciummu untuk mengikuti Rasulallah saw.’ Atas ucapan
Khalifah Umar ini khalifah Ali kw. berkata pada khalifah Umar sebagai berikut:
‘Rasulallah saw. berkata dihari pengadilan hajar Al-Aswad akan menjadi
perantara (saksi) atas
orang-orang’. (Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasai,
Al-Baihaqi, At-Tabharani dan Al-Bukhari dalam kitab Risalahnya) dan khalifah
Umar ra berterima kasih pada Amirul mukminin Ali bin Thalib kw.
Golongan Salafi/Wahabi
menyebarkan versi hadits terakhir diatas ini dengan mengurangi dari riwayat
aslinya. Mereka menceritakan hanya sampai kata-kata khalifah Umar ra. saja, dan
membuang perkataan khalifah Ali kw. yang menyatakan bahwa Hajar al-Aswad akan
menjadi wasilah atau perantara pada
hari pengadilan nanti. Golongan ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari
sebagian isi dari Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan
keyakinan literalisme mereka. Sayangnya ulama-ulama mereka berusaha sebisa
mungkin menyembunyikan atau menolak hadits-hadits yang telah kami kemukakan,
supaya orang-orang tetap tidak tahu mengetahui hadits-hadits seperti itu.
Sedangkan pengikut-pengikutnya hanya mengikuti apa yang diucapkan oleh para
ulama mereka ini.
Mengenai hajar aswad
Ibnu Hibban dalam kitab Shohih-nya
mengatakan: “Bahwa Nabi saw. bersabda:
الحَجَرُ وَ الرّ ُكْنُ اليَمَانِي يَحُط ُّ الخَطاَيَا
حَطاًّ
Artinya:
“Hajar
aswad (batu hitam) dan rukun yamani menggugurkan
dosa sebanyak-banyaknya”. (dinukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid
Sabiq jilid 5 cet.pertama hal. 152). Banyak riwayat lain mengenai kemuliaan
hajar aswad ini.
Diriwayatkan oleh
Imam Muslim (Lihat kitab Al-Libas Wa Az-Zinah jilid 3, halam 140) sebagai
berikut: “Asma binti Abubakar
As-Shiddiq ra menuturkan, bahwa ia pernah mengeluarkan jubah thayalisah
(yaitu pakaian kebesaran yang lazim dipakai oleh raja raja Persia), pada bagian
dada dan dua lipatan yang membelahnya berlapiskan sutera mewah. Menurut Asma
itu adalah jubah Rasulallah saw. yang dulu disimpan oleh Aisyah ra.
Setelah Aisyah wafat jubah itu disimpan oleh Asma. Asma mengatakan, bahwa Nabi
saw. semasa hidupnya pernah memakai jubah tersebut dan sekarang , kata Asma,
jubah itu kami cuci dan kami manfaatkan untuk bertabarruk mohon ke sembuhan
bagi penderita sakit ”.
Imam al-Bukhari dalam
kitab shahih-nya menuliskan satu bab
khusus tentang “Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas
dan cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau
saw. dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan
nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat
beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi
wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’
Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa Na’lihi
wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi). Hanya
Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau, yang
tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab standart
Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman
46 di bab yang sama)
Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab Sahihnya Bab al-Libaas pernah bahwa Asma’ binti
Abu Bakr pernah menunjukkan pada Abdulah ,bekas budaknya, jubah
Rasulullah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat,
dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat seraya berkata “Ini adalah jubah
Rasulullah r yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya.
Nabi r dulu biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga
mereka dapat sembuh karenanya.”
Imam Nawawi t mengomentari hadits ini dalam
Syarah Sahih Muslim jilid 7 halaman 145:
وفي
هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم
“Hadits
ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang
saleh dan pakaian mereka”
Dalam kitab yang sama, Imam Nawawi
menulis setidaknya 11 kali anjuran untuk mencari berkah dari bekas orang-orang
Saleh. Ini adalah dalil akurat bahwa tabarruk tidak terbatas pada masa hidup
Rasulullah saw dan dianjurkannya bertabarruk dengan orang-orang saleh. Hal ini
juga dilalakukan Imam Syafii dengan bertabarruk pada gamis Imam
Ahmad bin hanbal sebagaimana dalam kitab Tarikh Dimasyqi :
قال
لي الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربيع خذ كتابي هذا ، فامض
به وسلمه إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، وائتني بالجواب. قال الربيع: فدخلت بغداد
ومعي الكتاب، فلقيت أحمد بن حنبل صلاة الصبح، فصلّيت معه الفجر، فلما انفتل من
المحراب سلّمت إليه الكتاب، وقلت له: هذا كتاب أخيك الشافعي من مصر، فقال أحمد:
نظرت فيه قلت: لا، فكسر أبو عبدالله الختم وقرأ الكتاب، وتغرغرت عيناه بالدموع،
فقلت: إيش فيه يا أبا عبدالله قال: يذكر أنه رأى النبي (صلى الله عليه وسلم) في
النوم، فقال له: اكتب إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، واقرأ عليه مني السلام، وقل:
إنك ستُمتحن وتدعى إلى خلق القرآن فلا تجبهم، فسيرفع الله لك علماً إلى يوم
القيامة. قال الربيع: فقلت: البشارة، فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعهُ إليّ،
فأخذته وخرجت إلى مصر، وأخذت جواب الكتاب فسلّمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي:
يا ربيع إيش الذي دفع إليك قلت: القميص الذي
يلي جلده، قال الشافعي: ليس نفجعك به، ولكن بُلّه وادفع إليّ الماء لأتبرك به. شرح
النووي على مسلم - (7 / 145
Artinya:
Berkata Rabi': "Sesungguhnya Imam Syafi'i pergi ke Mesir bersamaku,
lalu berkata kepadaku: "Wahai Rabi', ambil surat ini dan serahkan kepada
Imam Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa
jawabannya!" Ketika memasuki kota Baghdad kutemui Imam Ahmad sedang shalat
subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak
dari mihrab, aku serahkan surat itu, "Ini surat dari saudaramu Imam
Syafi'i di Mesir," kataku. "Kau telah membukanya?" tanya Imam
Ahmad. "Tidak, wahai Imam". Abu Abdullah (imam Ahmad) membuka dan
membaca isi surat itu, kemudian kulihat beliau berlinang air
mata. "Apa isi surat itu wahai Aba Abdullah (Imam Ahmad) ?"
tanyaku. Dia (imam Ahmad) berkata; "Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi'i
bermimpi Rasulullah saw, beliau (saw) berkata: "Tulislah surat kepada
Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan
mendapatkan cobaan, yaitu dipaksa mengakui bahwa al-Qur'an adalah mahluk, maka
janganlah di-ikuti, Allah akan meninggikan ilmunya hingga hari
kiamat," 'Ini suatu kabar gembira', kataku. Lalu beliau menuliskan
surat balasan seraya memberikan padaku qamis yang melekat di kulitnya. Aku pun
mengambil surat itu dan menyerahkannya kepada Imam Syafi'i. 'Apa yang diberikan
Imam Ahmad padamu?' tanya Imam Syafi’i. "Gamis yang melekat dengan kulit
beliau," jawabku. "Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis
ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarruk
dengannya," kata beliau (Imam Syafii).
Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah
meriwayatkan, bahwa ‘Asma binti Abubakar pada suatu hari mengeluarkan sehelai jubah, kemudian berkata kepada
orang-orang yang hadir: ’Dahulu Rasulallah saw. memakai jubah ini. Jubah ini
kami cuci dan airnya kami gunakan untuk menyembuhkan orang-orang
sakit’.
Ibnu Qusaith dan Al-‘Utbi dalam kitab ‘Thabaqat’ yang disusun oleh Ibnu Sa’ad
mengatakan, bahwa para sahabat Nabi pada saat memasuki masjid Nabawi mengusapkan tangan pada mimbar Rasulallah
saw. yang berdekatan dengan makam beliau dengan maksud bertabarruk dan
bertawassul. Mereka kemudian menghadap kiblat lalu berdo’a.
Dalam Thabaqat ini Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin ‘Abdulqadir
juga mengatakan, “bahwa ia melihat ‘Abdullah bin ‘Umar Ibnul Khattab ra.
bertabarruk dengan mengusapkan tangannya pada tempat duduk Rasulallah saw. yang
berada dimimbar beliau, kemudian mengusapkan tangan itu pada wajahnya”. Dalam
riwayat yang lain lagi, Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga mengusapkan tangannya pada bagian mimbar
yang dahulu sering dipegang oleh Rasulallah saw.”.
Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa menurut sebuah
riwayat, Ibnu Umar pernah meletakkan
tangannya pada tempat duduk di mimbar Rasulallah saw., kemudian ia mengusapkan
tangannya ke wajah.
Ibnu Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal
dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia Imam Ahmad membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda
bulat dari kayu yang berada diatas mimbar [kuno], tempat berpegang pada saat
orang sedang berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya
bin Sa’id salah seorang ulama Fiqih di Madinah semuanya pernah melakukan hal seperti itu”. (Lihat Iqtidha
As-Shirathil Mustaqim, hal. 367).
Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad
al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin
al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku
melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/ bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin
Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103
Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang
kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh lainnya yang menyatakan
bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu beliau
berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.
Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan
hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah
kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan:
‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau
kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi:
‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan
Ahmad bahwa ia telah mencuci baju
as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum
air bekas cucian tadi’ “. (Lihat:
Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya
Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).
LIhat riwayat ini, Ibnu
Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan tabarruk
terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya
atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid'ah dan syirik mengapa
Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan:
“Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau
syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi
bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal !”.
Imam Ahmad bin Hanbal sendiri pernah juga
bertabarruk dan Al-Hafidz membenarkannya. Hal itu dituturkan oleh ‘Abdullah bin
Ahmad (putera Imam Ahmad). ‘Saya
pernah melihat ayahku mengambil sehelai
rambut Rasulallah saw. lalu dicium dengan mulutnya. Bahkan saya pernah
melihatnya menempelkan rambut Rasulallah saw. pada matanya, kemudian mencelupkannya dalam air lalu diminumnya
air itu bertabarruk mohon kesembuhan.
Saya pernah juga melihat ayahku memegang piring
Rasulallah saw., kemudian dicucinya lalu ia
minum air yang berada dipiring itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum
air Zam-zam bertabarruk mohon kesembuh an, dan setelah itu ia mengusap-usap
tangan dan mukanya dengan air tersebut’.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini telah bertanya pada
ayahnya mengenai orang yang menyentuh atau mengusap-usap rummanah mimbar Rasulallah saw. dan mengenai orang yang
mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu hitam yang terletak dipojok
Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan tersebut ayah beliau Imam Ahmad
bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal
itu tidak ada salahnya!. Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari
pendapat kaum Khawarij dan dari berbagai bid’ah (Lihat Siyaru A’lami-Nubala’
jilid 11 hamalan 312).
– Dalam kitab yang
berjudul: Siyar A’lam an-Nubala’ jilid 21 halaman 212, karya adz-Dzahabi, antara lain disitu ditulis yang
artinya: “Abdullah bin Ahmad (anak Imam Ahmad ibn Hanbal)
berkata: Saya telah melihat ayahku (Imam Ahmad ibn Hanbal) mengambil sehelai
rambut dari rambut-rambut Rasulullah, lalu ia meletakan rambut tersebut di
mulutnya; ia menciuminya. Dan aku juga melihatnya meletakan rambut tersebut di
matanya, dan ia juga mencelupkan rambut tersebut pada air lalu meminumnya untuk
tujuan mencari kesembuhan dengannya.Aku juga melihat ayahku mengambil wadah
(bejana/piring) milik Rasulullah, beliau memasukannya ke dalam air, lalu beliau
minum dari air tersebut. Aku juga melihatnya meminum dari air zamzam untuk
mencari kesembuhan dengannya, dan dengan air zamzam tersebut ia mengusap pada
kedua tangan dan wajahnya.Aku (adz Dzahabi) katakan: Mana orang yang keras
kepala mengingkari Imam Ahmad?? Padahal telah jelas bahwa Abdullah (putra Imam
Ahmad) telah bertanya kepada ayahnya sendiri (Imam Ahmad) tentang orang yang
mengusap-usap mimbar Rasulullah dan ruang (makam) Rasulullah; lalu Imam Ahmad
menjawab: “Aku tidak melihat itu suatu yang buruk (artinya boleh)”. Semoga kita
dihindarkan oleh Allah dari faham-faham sesat Khawarij dan para ahli bid’ah”.
– Kitab yang berjudul: Mu’jam asy Syuyukh jilid 1 hal. 73 karya adz Dzahabi –salah seorang
murid Ibnu Taimiyah–, disitu antara lain tertulis yang artinya:
“Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap makam
nabi dan menciumnya; dan beliau melihat bahwa melakukan perkara itu bukan suatu
masalah (artinya boleh). Jika dikatakan: Bukankah para sahabat tidak pernah
melakukan itu? Jawab: Karena mereka melihat langsung Rasulullah dan bergaul
dengannya, mereka mencium tangannya, bahkan antar mereka hampir “ribut” karena
berebut sisa/tetesan air wudlunya, mereka membagi-bagikan rambut Rasulullah
yang suci pada hari haji akbar, bahkan apa bila Rasulullah mengeluarkan ingus
maka ingusnya tidak akan pernah jatuh kecuali di atas tangan seseorang (dari
sahabatnya) lalu orang tersebut menggosok-gosokan tangannya tersebut ke
wajahnya.Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan oleh Tsabit al Bunani?,
beliau selalu mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakannya pada wajahnya,
beliau berkata: Inilah tangan yang telah menyentuh tangan Rasulullah.
Perkara-perkara semacam ini tidak akan terjadi pada diri seorang muslim kecuali
karena dasar cintanya kepada Rasulullah”.
– Imam al Hafizh Abu al Faraj
Abdurrahman Ibn al Jauzi (w 597 H) –salah seorang ulama Ahlussunnah
terkemuka bermadzhab Hanbali; hidup jauh sebelum Ibnu Taimiyah– dalam kitabnya Sifat as Shofwah jilid 2 halaman 324, menganjurkan ziarah ke makam
orang-orang Saleh dan Tawassul. Dihalaman ini antara lain ditulis yang artinya
sebagai berikut “Dia (Imam Ma’ruf
al Karkhi) adalah obat yang mujarab, karenanya siapa yang memiliki kebutuhan
maka datanglah ke makamnya dan berdoalah (meminta kepada Allah) di sana; maka
keinginannya akan terkabulkan InsyaAllah. Makam beliau (Imam Ma’ruf al Karkhi)
sangat terkenal di Baghdad; yaitu tempat untuk mencari berkah. Imam Ibrahim al
Harbi berkata: Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”.
– Begitu juga dalam al-Ishof karya Imam Mardawi (kitab
Fiqh madzhab Hanbali) jilid 2, halaman 456, 561-562 menjelaskan anjuran untuk
ziarah, tabarruk dan tawassul.
Bagaimana
golongan Wahabi/Salafi mengaku berpegang
madzhab imam Ahmad bin Hanbal, tetapi banyak akidah maupun ilmu fiqih
mereka bertentangan dengan imam Ahmad ra dan para pakar islam dari madzhab imam
Ahmad bin Hanbal. Kami kira lebih
layak mereka dijuluki dengan madzhab Muhamad ibnu Abdul Wahhab, karena imam
Ahmad bin Hanbal dan para pakar madzhab Hanbali telah melegalkan dan
menganjurkan ziarah kubur dan bertabarruk atsar Rasulallah saw dan kaum
sholihin..
– Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang
lebih dikenal dengan al Khathib al- Baghdadi (w 463 H) dalam kitab Tarikh
Baghdadi halaman 123,125 menulis tentang tabarruknya Imam Syafi’i dimakam
Imam Abu Hanifah. Dikitabnya
ini antara lain beliau menulis yang artinya:“
"—dengan sanadnya—- berkata: Aku mendengar imam asy
Syafi’i berkata: Sesungguhnya saya benar-benar melakukan tabarruk (mencari
berkah) kepada Imam Abu Hanifah, aku mendatangi makamnya setiap hari untuk
ziarah, jika ada suatu masalah yang menimpaku maka aku shalat dua raka’at dan
aku mendatangi makam Imam Abu Hanifah, aku meminta kepada Allah agar
terselesaikan urusanku di samping makam beliau, hingga tidak jauh setelah itu
maka keinginanku telah dikabulkan. Disebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan
bahwa di komplek pemakaman tempat Imam Abu Hanifah dikuburkan (Kufah) terdapat
salah salah seorang anak cucu dari Imam Ali bin Abi Thalib yang sering
dijadikan tempat ziarah dan mencari berkah oleh orang-orang Islam”.
Dinukil dari Ibnu Jama’ah (as-Syafi’i) yang
menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya.
Ia (Abdullah) meriwayatkan: 'Aku
pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasulallah dan bertabarruk
dengan mengusap-usap juga menciumnya.
Dan melakukan kuburan sebagaimana hal
tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah'. Beliau
menjawab: “Tidak mengapa”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1414).
Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali
dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencium
segala yang memiliki potensi untuk
diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan
mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk
bertabarruk maka tidak makruh”
(Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i jilid:1
hal. 276)
Syeikh Muhibbuddin at-Thabari berfatwa:
“Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan
perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Lihat: Asna al-Matholib jilid: 1 halaman: 331 atau sebagaimana yang
dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1407)
Syeikh ar-Ramli as-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan
Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun
dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak
mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib
karya al-Hamzawi halaman: 219)
Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium
kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh”
(Lihat: Syarh al-Mawahib jilid: 8
halaman: 315).
Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: “Tiada keraguan lagi bahwa mencium
kuburan mulia (Rasulallah) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam
pembolehannya dibanding dengan tabarruk
untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)”
(Lihat: Kanzul Matholib halaman: 20
dan Masyariq al-Anwar jilid: 1 halaman: 140).
Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi
menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh,
mencium dan menempelkan dada’. Beliau
menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini
(hukum makruhnya) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan
Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium
dan menyentuhnya” (Lihat: Syarh
as-Syifa’ jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh
Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa’ jilid:
4 halaman: 1404)
Imam Muslim mengetengahkan hadits dari Anas yang
mengatakan: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kerumah kami, kemudian
beliau tidur hingga berkeringat. Ibuku datang membawa sebuah botol (wadah) lalu
mewadahi keringat beliau yang menetes. Setelah bangun tidur beliau saw.
bertanya: ‘Hai Ummu Sulaim, Apakah yang telah engkau perbuat?’ Ibuku menjawab:
‘Keringat (anda) ini hendak kujadikan minyak wangi dan itu merupakan minyak
wangi yang paling harum baunya’ “.
Tabarruk pernah juga dilakukan oleh Rasulallah
saw.dalam Isra’ yaitu dari Al-Baitul Haram ke Al-Baitul Maqdis. Ditengah
perjalanan beliau turun dari Buraq yang dikendarai nya, kemudian menunaikan
shalat dibeberapa tempat tertentu, seperti di Thur Sina, Di Baitul Laham
(Betlehem, tempat kelahiran Nabi ‘Isa as.), dan lain-lain sebagaimana yang
diriwayatkan dalam kitab hadits dan sirah (sejarah) Nabawiyyah.
Tabarruk dengan petilasan/bekas orang-orang wali
dan shalih itu juga di perkenankan oleh syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam
kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al
meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal memperbolehkan orang mencium makam
Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk. Ketika Ibnu Taimiyah melihat
orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan. Selanjutnya Imam Al’Iraqi
berkata padanya : “Apa anehnya? Bukankah kami telah meriwayatkan bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum
air bekas cucian baju Imam Syafi’i ? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga
meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.
Dalam kitab Al-Hikayatul
Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy
mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul
lama tak dapat sembuh, ia bertabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam
Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.
Al-Khatib dalam Tarikh-nya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu
lamanya Imam Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu
Hanifah.
Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras
kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami
syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan
mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh
Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.
Contoh perbuatan tabarruk yang sampai sekarang bisa
dilihat masyarakat muslimin yaitu mengusap dan mencium batu hitam (Hajr Al
Aswad) dan minum air Zam-zam, berdo’a ditempat-tempat tertentu: di ‘Arafah,
Mina, Muzdalifah (Masy’aril Haram) serta sholat di masjid-masjid tertentu dan
sebagainya. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai manasik ibadah
haji, disitu kaum muslimin berdo’a, bertabarruk, bersembah sujud kepada Allah
swt. dan lain-lain.
Komentar Al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk
al-Masyru” hal: 68-69” mengenai hadits Atban bin Malik & jawabannya
Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa
problem yang dilontarkan oleh golongan pengingkar, namun kali ini, kita akan
mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu pengikut sekte
Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran
(menuduh kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin. Untuk
mempersingkat, kita akan ambil beberapa masalah (dibawah ini) yang sering
mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab
Wahabi yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani yang menolak,
mengharamkan atau mensyirikkan
Tabarruk dan jawaban dari golongan yang membolehkan Tabarruk.
Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
“Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan
manusia, mereka menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau
hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu melalui perminta berkah (tambahan) terhadap
berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan yang
berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi berkah.
Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun
masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan
dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka
inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya…” (QS az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa, tabarruk (mengharap berkah) selain
dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum
musyrik zaman Jahiliyah. (Lihat:
kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)
Jawabannya:
Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu– bahwa, beberapa nabi
Allah yang mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan
berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita (Muhammad saw) –yang sebagai
penghulu para nabi dan rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah
Dia ciptakan– pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari
berkah (tabarruk) adalah haram–karena syirik– maka tentunya para nabi di setiap
zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa justru mereka malah
melakukannya? Lagi pula, apa yang di-isukan oleh kelompok Wahabi di atas
tadi, selain tidak sesuai dengan al-Qur’an, Hadits dan bukti sejarah dari Salaf
Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu
(az-Zumar:3) sendiri. Beberapa alasan berikut ini:
Pertama: Semua orang tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam
dilihat dari niatnya. Dengan kata
lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali
kepada niat. Bukankah Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada
niatnya…” (Hadits Muttafaq Alaihi). Tentu,
niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa
disamakan.
Kedua: Dalam ayat itu (Az-Zumar:3) disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan...”
di situ terdapat kata “Menyembah”
yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya
berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah
dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya.
Tanpa keyakinan itu (sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah
pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan
sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah. Bukankah dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa Allah telah memerintahkan para malaikat dan jin untuk bersujud di hadapan dan untuk nabi Adam? Bukankah nabi Ya’qub beserta
anak-anaknya telah sujud di depan nabi Yusuf? Ini yang membedakan antara
prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan berkah. Ini
merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam prilaku per ibadatan. Kaum
muslimin selain tidak meyakini kepemilikan sifat ketuhanan selain Allah,
sehingga obyek selain Allah memiliki kelayakan untuk di sembah, juga meyakini
bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari kehendak Ilahi, karena
hanya Dia Yang Maha kuasa nan sempurna, dan yang layak disembah.
Ketiga: Ayat dari surat az-Zumar tadi Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan…”
tapi dikatakan; “kami tidak menyembah
mereka melainkan…” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum
musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan
dalam akhir-akhir surat Yasin maka mereka akhirnya meyakini bahwa
patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara independent dari Allah swt.
sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan
segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu
keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dan tentu pula
kaum muslimin tidak pernah berpikir semacam itu. Semua kaum muslim meyakini
bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin dan kehendak Allah
swt., termasuk pemberian berkah. Karena Allah swt.sumber segala yang ada di
alam semesta ini.
Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap mulia bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan dalam Sahih Bukhari yang
dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat Rasulallah dari kelompok
Anshar, yang turut dalam perang Badar. Ketika dia mendatangi Rasulullah, lalu
berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah pengelihatanku, padahal aku mengimami
shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka banjir selalu menggenangi lembah yang
menghubungkanku dengan mereka, sehingga aku tidak dapat mendatangi masjid
mereka, dan shalat bersama mereka Aku ingin engkau datang ke rumahku dan shalat
di rumahku, sehingga aku menjadikannya (tempat itu) sebagai mushalla”.
Mendengar hal itu Rasul bersabda: ‘Aku
akan melakukannya, insya-Allah”. Kemudian berkata ‘Atban: ‘Keesokan
harinya, Rasul bersama Abu Bakar datang, ketika menjelang tengah hari. Rasul
meminta izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah,
dan langsung menannyakan: ‘Dimana engkau
menginginkan aku melakukan shalat?’. Dijawab: ‘Aku mengisyaratkan pada
salah satu sudut rumah’. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun
mengikutinya berdiri dan mengambil shaf (barisan shalat). Beliau
melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman
170/175 atau Shahih Musim jilid 1 halaman 445/61/62).
al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk
al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang
disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk
menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada
tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini dia menyatakan:
“Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun
ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di rumahnya, ketika tidak dapat mendatangi masjid
karena lembah digenangi air. Atas dasar itu ia meng- hendaki Rasul membuka
(meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab
pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di Rumah”
(Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagai- mana Barra’ bin ‘Azib
melakukan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjama’ah. Ini
termasuk hukum fikih beliau. Dari
semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat
berjama’ah dirumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah
menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid
rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam.
Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan
pasti arah kiblat, karena Rasulullah
tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman
68-69).
Jawabannya:
Itu adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadits di atas tadi. untuk mengkritisinya maka
marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat
jama’ah di rumah adalah ‘salah satu’
sebab, tetapi ‘bukan satu-satunya’
sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Atban sangat
menghendaki tabarruk dari tempat
shalat Rasulallah. Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar
itu, Rasulallah langsung menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk
dijadikan mushalla, dirumahnya. Jika isu
sekte wahabi di atas itu benar maka selayak-nya Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya
tadi, mungkin di ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan
pintu masuk. Dan kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana engkau menginginkan aku melakukan
shalat?”. Dengan kata lain, Rasulallah
tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw.. Jika apa yang dinyatakan
oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasulallah saw. langsung melakukan shalat
di rumahnya, tanpa menanya- kan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam
itu.
Kedua: Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban
tadi adalah ingin memastikan kebenaran
arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara
mendatangkan Rasulallah saw. kerumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa
saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan
sahabat Rasulallah lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang
benar, bukan dengan memangil Rasulallah, apalagi dilanjutkan dengan pelaksanaan
dua rakaat shalat oleh Rasulallah
saw.. Dan dikarenakan Rasulallah hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai
mana tekts hadits) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulallah
adalah shalat sunah, bukan shalat wajib.
Oleh karenanya, jika Rasulallah hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu
dengan lisan dan tunjuk saja.
Ketiga: Perkiraan penulis madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan
bukti-bukti (qarinah) yang ada,
juga apa yang ia perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik dari apa
yang dipahami oleh pribadi agung seperti Ibnu
Hajar al-Asqolani dalam kitab Syarah Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar
al-Asqolani berkaitan dengan hadits tadi mengatakan:
a. “Dalam hadits ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat dirumahnya
dan Nabi pun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan
tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul
Bari 1/469)
b. Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada
lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau
bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul
Bari 1/433)
Keempat: Taruhlah benar –jika kita terpaksa ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis
Wahabi tersebut– apa yang dinyatakan oleh penulis Wahabi yang berkaitan dengan
hadits Rasul dari sahabat ‘Atban tadi, maka bagaimana menurut para pengikut
Wahabi berkaitan dengan banyak riwayat
lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti pada kasus yang dapat kita
lihat diantaranya pada riwayat-riwayat berikut ini:
a. Dari Anas bin Malik;
Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang kerumahnya dan
melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat
Rasul) sebagai mushalla. Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja
memerciki tikar dengan air, lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti
oleh beberapa sahabat lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab
masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).
b. Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lantas
berkata kepada Nabi: “Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan
shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah sedang di rumah
terdapat batu-batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke salah satu sudut
yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat, lantas kami pun mengikutinya.
(Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi
ad-Daur, hadits 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman
130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)
Hadits-hadits diatas jelas menyatakan inginnya pengambilan barokah dari
Rasulullah saw, pada tempat sholat mereka, tidak seperti hadits ‘Atban yang
masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani. Hadits-hadits semacam itu (Hadits
‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab para imam terkemuka lainnya.
Lantas giliran kita kembali bertanya kepada pengikut sekte Wahabi: Apakah tujuan Shahabiyah Ummu Sulaim agar
kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di rumahnya bersama Rasulallah
sebagaimana tujuan sahabat ‘Atban yang telah meminta Nabi saw. shalat di
rumahnya, untuk menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita
lihat dalam fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) dari Rasulullah saw? Apakah paman sahabat
Anas tadi –yang tentu- nya
pengelihatannya masih kuat– juga
bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk
mengetahui dan memastikan arah kiblat?
Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah dari tempat shalat Nabi bahkan ingin menjelaskan
kepada Rasulallah saw. akan ketidakhadirannya di shalat jama’ah Rasul, apakah tidak cukup sekedar memberitahu (meminta
izin) Rasulallah akan penyebab
ketidakhadirannya di masjid untuk melakukan shalat jama’ah karena adanya uzur
atau terdapat kepentingan lain sehingga diketahui oleh Nabi? Mengapa mereka malah meminta Rasulallah saw.
melakukan shalat di bagian tertentu dari rumah- nya sehingga mereka nantinya
juga akan shalat di tempat tersebut?
Ada sebagian golongan Wahabi berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara
masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh
yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak,
walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah dan tempat bangunan asli
masjid Nabawi masih terjaga (tidak berpindah lokasinya) dan dapat dikenali oleh
banyak orang. Ditempat-tempat bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para
sahabat beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa
lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari
oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di
tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jama’ah
dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid
Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentunya.
Riwayat-riwayat semacam itu akan banyak kita dapati dalam buku-buku hadits
terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan menyebutkan hadits-hadits
atau bukti sejarah karena mengingat banyaknya halaman dibuku ini.
Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
“Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam untuk meng harap berkah dari Allah dari tempat tersebut,
baik dari sisi berkah rizki mau pun menghindari fitnah maka ia akan diberi
kebaikan yang banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk
dengan cara menyentuh-nyentuh tanah, batu, pohon-pohonan yang ada di
daerah tersebut atau meletakkan tanahnya
di air untuk pengobatan atau semisalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa, bukan pahala. Karena ia telah
melakukan tabarruk yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam”. (Lihat: Tabarruk
Masyru’ halaman 42).
Jawabannya:
Untuk menjawab isu sekte Wahabi dalam masalah ini, mari kita perhatikan
poin-poin di bawah ini:
Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para sahabat yang
tergolong Salaf Sholeh telah sering melakukan pengambilan berkah dengan
mengusap-usap mimbar Rasulallah sembari berdo’a. Sahabat Ibnu Umar mengusap
bekas tempat duduk Rasulallah di atas mimbar kemudian mengusapkan kedua telapak
tangannya ke raut wajahnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya,
termasuk Rasulallah saw. telah mengusap-usap kepala dan badan seseorang sembari
mendo’akannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam usapan beliau saw. Karena jika tidak, maka do’a Rasul untuk
kesembuhan mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap
anggota tubuh seseorang?
Apa tujuan Rasulallah saw. melakukan hal tersebut kalau bukan memberikan
barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang diberikan kepada
setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sekali
riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan beberapa dari riwayat tersebut,
sebagai contoh saja:
a. Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menyatakan: “Sesungguhnya Nabi pernah
membaca do’a perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan mengusap tangan kanannya sembari
mengucapkan do’a: ‘Ya Allah, Tuhan manusia, jauhkanlah bencana (darinya).
Sembuhkanlah ia, karena Engkau Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat
yang tidak menyisakan penyakit…’ ” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)
b. Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari Sahal bin Sa’ad bahwa
Rasulullah saw. pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku serahkan panji (bendera
perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan membuka (pertolongan-Nya)
melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi) adalah seseorang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah beserta Rasul-Nya pun mencintainya”.
Ia (perawi) berkata: “Akhirnya orang-orang begadang untuk menunggu siapakah
gerangan yang akan di anugerahi panji tadi. Ketika pagi telah tiba, orang-orang
mendatangi untuk mengharap dianugerahi kemuliaan tadi”. Perawi berkata: Rasul
bersabda: ‘Dimanakah Ali bin Abi Thalib?’. Dijawab: ’Ada wahai Rasul. Ia sedang
sakit mata’. Rasulallah bersabda: ‘Datangkanlah ia’! Lalu di datangkanlah Ali.
Kemudian Rasulallah memberikan ludah- nya
ke mata Ali sembari mendo’akannya. Sembuhlah penyakitnya seakan tidak pernah
mengalami sakit. Kemudian Rasulallah memberikan panji tersebut kepada Ali”.
(Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal.
333; as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid 5 hal. 46/108; Musnad Abi Ya’la jilid
1 hal. 291; al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid 6 hal. 152 dan kitab Majma’
az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).
c. As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasulallah dikeluhi oleh seseorang
akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan tersebut pada jarinya
sembari meletak- kan jempol (tangan) beliau ke tanah, kemudian mengangkatnya
dengan mengungkapkan: ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan debu tanah kami, dan dengan ludah sebagian dari kami, akan
disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah’ ”. (Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal.
69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati dalam hadits Sahih Bukhari
jilid 7 hal. 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan sedikit perbedaan redaksi)
Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanah Madinah memiliki keberkahan
khusus dari Allah untuk kesembuhan
penyakit. Itu semua berkat keberadaan
Rasulallah saw. bersama para kekasih Allah , baik dari sahabat, tabi’in, tabi’
tabi’in dan para manusia sholeh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh saja
dari hadits-hadits Rasulallah saw. tersebut:
a. Rasulallah bersabda: “Debu Madinah menjadi pengobat dari
penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman
205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
b. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah) menjadi
penyembuh dari segala penyakit”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi
jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1
halaman 67)
c. Rasulallah bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya.
Sesungguhnya tanahnya (Madinah)
adalah pengaman dan penyembuh
penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 hal.
205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
Jika tanah Madinah secara umum
memiliki keberkahan semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasulallah saw. yang disitu jasad suci beliau
saw. –makhluk Allah termulia dikebumikan?
Lantas salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan
ajaran (hadits) Rasulallah jika ada
seseorang yang mengambil tanah Madinah untuk mengambil berkah darinya, baik untuk mengobati penyakitnya, atau sekedar
disimpan untuk bertabarruk? Mana yang
sesuai dengan ajaran Rasul; orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah,
ataukah yang menyatakan bahwa bertabarruk terhadap tanah semacam itu tergolong
bid’ah atau syirik, sebagaimana yang diaku oleh kelompok Wahabi?
Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan beberapa
kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian disakralkan oleh masyarakat
muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat yang di muliakan oleh Allah
swt. dengan anugerah khusus semacam itu. Sehingga di sakralkan oleh kaum
muslimin, sesuai dengan apa yang diungkapkan melalui lisan suci Rasulullah saw.
Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia, pembenci Syirik nomer wahid–
menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah sebagai sarana (wasilah)
pengobatan (tabarruk), apakah pengikut beliau dapat divonis bid’ah
atau syirik ketika mengikuti ajaran dan saran beliau saw. tadi?
Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah, karena Rasulallah
pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lalu bagaimana dengan Hajar Aswad, rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah, Maqam Ibrahim,
Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua Tsur yang semua
adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan orang-orang yang
mencintai junjungannya tersebut? Apakah
ketika bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas divonis dengan bid’ah
dan syirik, sebagai mana kita lihat perbuatan kelompok sekte Wahabi
terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain?
Mengapa kaum Wahabi melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’, ‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk
bertabarruk, dengan alasan bid’ah dan
syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari Rasulallah?,
padahal banyak sekali contoh dari
Rasulallah saw. dan salaf Sholeh !! Siapakah sekarang yang bid’ah, golongan
muslimin yang mengikuti sunnah Rasulallah saw. atau golongan pengingkar ini
?
Kami sayangkan, madzhab Salafi (baca.Wahabi) dan pengikutnya selalu merasa
paling benar dan paling mengerti dalam hukum syari’at. Semoga Allah swt.
memberi hidayah kejalan yang benar kepada semua kaum muslimin. Amin
Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
Salaf Sholeh telah melarang pengambilan berkah dan penghormatan yang
berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas,
ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah berkata: ‘Siapa diriku
sehingga kalian datang kepadaku? ‘Pergilah dan tulislah hadits’!. Dan sewaktu
beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab: ‘Bertanyalah kepada ulama’!.
Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’) beliau mengatakan: ‘Haram
buatku berbicara tentang wara’, jika Byisr hidup niscaya ia akan
menjawabnya’. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas, lantas menjawab: ‘Pergilah
kepada orang-orang zuhud ! Kami
memiliki apa sehingga kalian datang kepada kami?’. Suatu saat seseorang datang
kepadanya dan mengusapkan tangannya
ke bajunya dan kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad
marah dan mengingkari hal tersebut dengan keras sembari berkata: ‘Dari siapa
engkau mengambil perkara semacam ini’ (Lihat: Tabarruk Masyru’ hal. 86).
Jawabannya:
Untuk menjawab isu penulis madzhab Salafi/Wahabi di atas, hendaknya kita
perhatikan beberapa poin di bawah ini:
Terbukti bahwa ternyata penulis Wahabi tadi memahami sesuatu hal yang
berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam madzhab tadi dalam
mengingkari tabarruk orang-orang
terhadap dirinya, bukan berarti
pengingkaran mereka terhadap keyakinan
tabarruk itu sendiri. Harus dibedakan antara mereka melarang orang ber-
tabarruk kepada dirinya, dengan dari
semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan
bahwa, para imam madzhab itu sendiri telah melaku- kan tabarruk.
Dan apa yang disunting oleh penulis Wahabi tadi tidak lain adalah tergolong
sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’)
para imam madzhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dimana kita tahu bahwa ‘tawadhu’’ merupakan salah satu bentuk dan sikap
nyata dari setiap ulama yang sholeh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak
menvonis orang yang bertabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran sebagaimana yang dilakukan
oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dari sisi
metode (manhaj) dan pola
pikir, serta sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama madzhab tahu bahwa
tabarruk bukan tergolong prilaku
syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk pengkafiran, seperti yang dilakukan
sekte Wahabi. Dengan bukti lain bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah
kita singgung di urutan artikel tabarruk sebelumnya telah melakukan tabarruk
terhadap para ulama dan manusia sholeh yang hidup sezaman atau sebelum mereka.
Bahkan sebagian mereka telah bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia sholeh.
Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai sikap tawadhu’
beliau, bahkan diartikan dengan sebenarnya, maka ungkapan beliau seperti: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku?
Pergilah dan tulislah hadits’! atau
ungkapan beliau; ‘Bertanyalah kepada
ulama’, meniscayakan bahwa kita (kaum muslimin, juga pengikut sekte Wahabi)
tidak perlu menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rujukan, karena beliau bukan ulama. Namun terbukti bahwa,
ternyata kelompok Wahabi pun yang selama ini ‘mengaku’ (konon) menjadikan Imam
Ahmad sebagai panutannya, justru tidak konsisten terhadap ungkapan Imam Ahmad
tadi. Lalu mana konsistensi kelompok
Wahabi dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?
Bila kita toleransi lagi dengan sekte Wahabi dan membenarkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad bin
Hanbal melarang orang bertabarruk
dengan pribadi orang, maka larangan Imam Ahmad itu pun terbantah dengan banyak hadits shohih yang telah kami kemukakan
diatas yang melegalkan Tabarruk, termasuk Imam Ahmad sendiri ikut
meriwayatkannya. Jadi yang benar ialah
Imam Ahmad tidak mengharamkan
Tabarruk tetapi yang melarang Tabarruk itu ialah imam dari sekte Wahabi dan
pengikutnya itu sendiri dengan mengatas namakan Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah !
Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh golongan pengingkar dalam
menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan
prilaku tabarruk atau tawassul Mereka tidak
memiliki argumen apa pun berkaitan dengan hadits, riwayat, maupun bukti
sejarah, apalagi al-Quran yang membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah mau pun syirik!!
Dari sini jelas sekali bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan kesakralan
khusus kepada beberapa obyek tertentu dari makhluk-Nya agar manusia
menjadikannya sebagai sarana tabarruk atau tawassul. Dan terbukti bahwa Nabi
Muhammad bin Abdillah saw. bukan hanya tidak melarang, bahkan beliau sendiri
telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan tabarruk dari obyek-obyek
sakral tadi. Dan ajaran itu berjalan terus dari generasi ke generasi hingga
kita sekarang ini.
Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan tabarruk, namun dari
seri kajian tabarruk ini pun kita juga telah bisa menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai pada berbagai bentuk, seperti:
1- Tempat;
seperti; Kota Madinah, Arafah, Muzdalifah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil
Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang sholeh…dsb.nya
2- Benda; seperti;
Mushaf Al-Quran, semua penginggalan Nabi, Sahabat, Ulama dan manusia sholeh
lainnya…dsb.nya
3- Orang/pribadi agung;
seperti; mengenang manusia-manusia mulia dari para nabi, syuhada’, shalihin
berkaitan dengan zaman kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah
hidup mereka…dan sebagainya. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca
berbagai bentuk shalawat dan puji-pujian untuk Rasul, seperti tercantum didalam
kitab-kitab Maulid Diba’, Burdah, Barzanji, Shalawat Badr…dan sebagainya.
4- Waktu;
seperti; waktu-waktu yang disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang
berkaitan dengan momen khusus kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu
kaum muslimin memperingati acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj,
Nuzulul Quran…dan sebagainya. Wallahu
A’lam.
Dengan contoh
riwayat-riwayat –perbuatan-perbuatan sahabat baik dizaman hidupnya Rasulallah
saw atau sesudah wafatnya atau perbuatan para salaf yang telah kami kemukakan
diwebsite ini–, cukup bagi kita bahwa tabarruk atau tawassul itu
mustahab/baik malah menjadikan do’a dan amalan kita lebih cepat diterima oleh
Allah swt. Orang-orang yang mengingkari atau menyesatkan amalan tersebut
tabarrruk, tawassul merekalah yang
membuat bid’ah, yang menyembunyikan hadits-hadits shohih atau memutar
balik maknanya.
Memang golongan pengingkar
ini tidak bisa membedakan antara tabarruk, tawassul, ta’dzim dengan
penyembahan atau pengkultusan. Dengan pengharaman, pensyirikan mereka
tentang masalah ini, seakan-akan mereka ini merasa lebih pandai, taqwa dan
lebih mengetahui syari’at Islam dibandingkan dengan Rasulallah saw., para
kerabat, para sahabatnya serta para pakar Islam yang melakukan tawassul,
tabarruk , ta’dzim dan sebagainya !
Begitu juga tidak ada
terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu
tersebut atau menyembah hajar aswad
karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah
kuburan karena berdiri khidmat dihadapan kuburan atau mencium kuburan itu.
Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi karena Ka’bah, Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan
hancurlah keimanan dan ke Islamannya.
Jadi yang penting semuanya
disini adalah keyakinan atau niat dalam hati, yang niat ini tidak
bertentangan garis-garis yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Dengan
demikian tidak ada salahnya bila orang ingin mencium, mengusap
kuburan Rasulallah saw.atau para ahli taqwa lainnya, selama niat orang tersebut
hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan sebagai penyembahan?
Insya Allah dengan
keterangan sederhana dan dalil-dalil mengenai tawassul, tabarruk yang cukup
jelas ini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui amalan mana
yang diridhoi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semoga hidayah dan taufiq dari
Allah swt., selalu dilimpahkan pada kaum muslimin. Amin.
Insya Allah dengan adanya
kutipan sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan
semua kaum muslimin lainnya dan kita
semua bisa melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi-Nya, sehingga kita tidak
mudah atau gampang melontarkan kata-kata kepada kaum muslimin yang melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu tersebut mengusap-usap, mencium dan sebagainya
bekas-bekas para Nabi, wali…. yang telah kami kutip dan kumpulkan syirik,
munkar atau sesat dan sebagainya ! Wallahu a'lam.
Sebagai manusia yang penuh kekurangan dan
kesalahan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap para pembaca
budiman silahkan kirim email: burdah-sharief@outlook.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar