Tarekat
berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang
berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub),
(3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah),
(5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut
Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus
yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui
tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian
bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju
kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi
(sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah,
ribath, atau khanaqah (sufinews.com).
Sebuah tarekat
biasanya terdiri dari penyucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan,
dan kesadaran sosial. Penyucian batin melalui latihan rohani dengan hidup
zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek, mengisi sifat terpuji, taat atas
perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah
introspeksi terhadap semua amal pribadi. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri
dari syaih tarekat, syaikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat,
murid dan pengikut tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab,
system dan metode zikir. Upacra keagamaan bisa berupa baiat, ijarah atau
khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang
diberikan dan dialihkan seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya (Abu Bakar
dalam Sri Mulyati,2004: 9).
Menurut Sri
Mulyati (2004:9), dari unsur-unsur tersebut, salah satunya yang sangat penting
bagi sebuah tarekat adalah silsilah. Silsilah menjadi tolok ukur sebuah tarekat
itu muktabarah (dianggap sah) atau tidak.
Dengan
demikian aliran tarekat berikut ini adalah beberapa di antara tarekat yang
telah jelas sebagai tarekat muktabarah yang telah lama berkembang di Indonesia.
Langkah awal untuk mengenal lebih dekat mengenai tarekat-tarekat tersebut,mari
kita simak bersama uraian berikut. Semoga umat Islam dapat membedakan mana
tarekat yang tidak melenceng dari ajaran syariat dan mana yang merupakan aliran
sesat yang berkedok tarekat. Selain itu,memperjelas kita betapa kaya khazanah
ke-Islam-an di nusantara ini.
1. Tarekat
Qodiriyah
Qodiriyah adalah nama
sebuah tarekat yang
didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad
Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat
Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian
diikuti oleh jutaan umat
muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan
Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski
sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad
ke 15 M. Di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh
Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan
ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah
ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun
berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah
Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir
ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh
Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul
Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh
Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj
Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi,
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat
Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh,
maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat
gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam
tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa
murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh
dan Allah-lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena
keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam
kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang
berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan
lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal
lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di
Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain
sebagainya.
Di
Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan
dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian
garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara
Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Syaikh Abdul Karim Tanara
Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan
ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur
salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal
sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nurun Naum
Suryadipraja yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah
ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad
Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh
dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Beliau
sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan
kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor
propinsi Jawa Barat.(wikipedia.org)
2. Tarekat
Naqsyabandiyah
Naqsyabandiyah
merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran
nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara
orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke
daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut
di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik
dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Sejarah
Kebanyakan
orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal
mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal
abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat
ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya
dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini
Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi
oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar
diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat
lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah
dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak
tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925,
yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad
Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah
Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di
kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi
Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak
dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah
suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah Naqsyahbandiyah India
ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh
warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta
Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan
mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki
Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut
Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya
yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi
terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.
Sebagai guru
fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan
orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan
murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di
Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis
Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.
Dorongan yang
membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang
lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang
penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para
pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang
sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi
dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda
dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid
untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya
pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (”petautan”) atau konsentrasi
pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait
dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi
syari’at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian
Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang
mendasari upaya tersebut tetap hidup.
Lahir di
Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan
waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung
halamannya pada 1881 dengan “wewenang lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya.
Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan
utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga tempat
tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan
jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas
geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki
agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan
tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil
kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut
Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha
untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai
upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.
Namun, terjadi
semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa
pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di
Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan
yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan
Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar
yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh
Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah Irak
Utara.
Pengaruh
Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang
Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh
“Qadiriyah”, yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah
Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat
itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan
keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian
nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880
yang dipimpim oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri,
untuk sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran.
Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama
beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.
Khalidiyah
juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang
terletak di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.
Wilayah ini
pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi
kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi
semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah
penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi syari’at dan
perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk
orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia
pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama.
Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu
menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme
Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata
sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh
Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar
Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.
Wilayah
populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima
Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).
Wakil Maulana
Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari
Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut
Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev
adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan
kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada 1870. Ketika
kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan permusuhan dari
para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini
mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881
dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di
bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi
juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia disebut
sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa Rasulev
tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat
Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah
pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.
Akhirnya,
Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di
dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu
Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di
Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari
keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh
Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga
pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi.
Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah
yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi.
Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang
lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia
Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam
jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal
Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh
Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang
mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang
paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada
tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari
Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar
adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga
tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke
Semenanjung Malaya.
Praktik
Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan
adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu
yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini
sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya
hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin
menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.
Peran Politik
Tidak semua
perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan
Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi
didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan
para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara
Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di
tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol
dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan
Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut
Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga
memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan
1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.
Ciri khas yang
ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara
modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap
sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali pemberontakan Sa’id). Penggambaran
peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh
Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil, sekarang diragukan.
Sejumlah
pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan
intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As’ad.
Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama
penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994).
Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara alamiah memiliki
pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah
ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur
tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara
menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada 1993.
Kaum
Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat
digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini. Pengaruh mereka
mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah
adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah
sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun,
pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di
permukaan.
Berbagai
Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti
tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah
tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat
juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan
ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau
“marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan
orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah,
sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam
abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah
mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka
variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan
memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada
aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola
pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang
lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual
berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari
variasinya tidak sedikit.
Asas-asas
Penganut
Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan
oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’
al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah,
termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami
al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu
dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh
Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih
dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan
uraian Taj al-Din Zakarya (”Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana
dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa
Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya
‘Abd al-Khaliq adalah:
1. Hush dar
dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang
bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan
ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan
sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir
kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa
orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar
qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga
langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar
supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di
sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar
watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan
batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia
menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan
penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari
mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang
akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi).
4. Khalwat dar
anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam
tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi
agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat
berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai
“menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal
lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan
sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat
sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan
selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam
politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas
ini.
5. Yad kard:
“ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi
formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh
guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut
Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian
sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam
kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt:
“kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada
hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir
tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta
maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan
keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat
ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya
yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah
dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu
melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak
menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran
dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi
mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian
hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
8. Yad dasyt:
“mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat
Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa
segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus
berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam
keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas
Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i
zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur
bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini
dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar
dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah
berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau
melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i
‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali
seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana).
Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan
sebelumnya.
3. Wuquf-I
qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang
(yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah,
maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian
perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj
al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di
atasnya.
Zikir dan
Wirid
Teknik dasar
Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha
illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang
lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam
(khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir
keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan
dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada
kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat
dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur
dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat
pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam
selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir
dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama,
adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ”
mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah
berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil
atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan
pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti
menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah
pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan
berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan
turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata
Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu
mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain
yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya
adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan
membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada
tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if),
adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh
(jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar
dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di
atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada;
dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull
jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.
Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah
terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if
dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya bukanlah khas
Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik.
Jumlah latha’if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu
disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha’if
pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu
letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi
seluruhnya sama saja.
Asal-usul
ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya
sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan
muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan
dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan
nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah
sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah
sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad
Sirhindi.
Pembacaan
tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun
tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau
formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan
membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan
dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan
mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk
dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan
tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai
kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan
aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja
dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda
memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya,
sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi
yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah. (syafii.wordpress.com).
3. Thariqah
Qadiriyah Naqsyabandiyah
Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat
besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah.
Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di
Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi
al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang
tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid
Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah.
Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah
Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad
mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.
Sebagai
seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki
otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.
Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu
bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada
pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah,
maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian
menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah
dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya,
khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan
inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis,
bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi,
terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan
yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul
Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat,
sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.
Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai
derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih
efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak
hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan
penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah).
Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain
(selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan
tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh
Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak
menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi
ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia
disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat
ini adalah hasil ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab
dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang
diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang
merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat
atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini
paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan
pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus
shalihin.
Setidaknya ada
empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk,
tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah ( suryalaya.org).
Syeikh Ahmad
Khatib Sambas salah satu tokoh Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Sambas, salah
satu perbedaan yang menonjol antara tarekat naqsabandiyah dengan qadiriyah
adalah, kalau tarekat qadiriyah disuarakan dengan keras (zikir vokal) sedangkan
naqsabandiyah diucapkan dalam hati (zikir diam). Mengapa hal ini terjadi,
karena Ali sahabat Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang periang, terbuka, dan
suka menantang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan
suara keras. Sebaliknya, Abu Bakar menerima pelajaran spritualnya pada malam
hijrah, ketika dia dan rasulullah sedang bersembunyi di sebuah gua. Karena di
seputar tempat itu banyak musuh, mereka tidak dapat berbicara keras dan
rasulullah mengajarinya untuk berzikir di dalam hati.
Kemungkinan
ketertarikan Khatib Sambas untuk mengadopsi tarekat naqsabandiyah dan
menggabungkannya dengan tarekat qadiriyah, adalah karena teknik-teknik zikir
diamnya yang begitu unik, sehingga dapat menyempurnakan keseimbangan zikir
vokal yang digunakan tarekat qadiriyah. Dengan demikian, murid-murid tarekat
qadiriyah-naqsabandiyah bisa lebih mudah, cepat, praktis, dan mendalam guna
memperoleh pengalaman spritualnya.
Namun yang
cukup menarik adalah, dari siapa Khatib Sambas memperoleh doktrin spritual
naqsabandiyah? Menjawab pertanyana ini, perlu dipertimbangkan situasi abad ke
18 dan 19, dimana afiliasi seorang ulama kepada lebih dari satu cabang sudah
menjadi sesuatu hal yang umum. Tapi sifatnya tetap menjadi misteri adalah dari
siapa Khatib Sambas memperoleh ajaran naqsabandiyah. Hal ini mengingat dia
tidak pernah menyebut nama gurunya dibidang tasawuf selain dari nama Shaykh
Shams al-Din.
Dalam sisilah
Khatib Sambas, ia hanya menyebut gurunya dari tarekat qadiriyah. Sisilah
tersebut dimulai dari Allah melalui Malaikat Jibril. Padahal, adaptasi zikir
naqsabandiyah begitu eksplisit dalam terekat qadiriyah-naqsabandiyah. Tarekat
naqsabandiyah-lah yang memusatkan zikirnya pada enam titik halus (lataif) dalam
badan, jantung, dada kanan, dua jaru di atas puting kiri, dua jari di atas
putting kanan. Di tengah dada dan dalam otak.
Khatib Sambas
telah menerapkan konsep lataif dalam zikir qadiriyah, dia menuntut tidak hanya
hati yang disucikan dengan zikir tapi juga kelima lataif di dalam dada.
Pengaruh naqsabandiyah yang kedua terlihat dalam ajaran "menghadirkan rupa
shaykh di hadapan murid-murid," kalau shaykh tidak hadir. Seorang murid
membayangkan hubungan yang sedang dijalin dengan seorang mursyid (pembimbing
spritual), seringkali dalam bentuk seberkas cahaya yang memancar dari seorang
mursyid. Ini tidak lain dari apa yang dinamakan rabitah shaykh dalam tarekat
naqsabandiyah. Dalam tarekat qadiriyah, rabitah biasanya tidak dilakukan.
Zikir
qadiriyah selalu jahr, bersuara, dan seringkali dengan suara keras. Kala Khatib
Sambas mengajarkan bahwa zikir bisa juga dilakukan tanpa suara, ini agaknya
merupakan hasil adaptasi dari zikir naqsabandiyah. Rumusan ajaran dan rumusan
praktis tarekat qadiriyah-naqsabandiyah diuraikan oleh Khatib Sambas dalam
karyanya Fath al-Arifin (sambas.go.id/news).
4. Tarekat
Syathariyah
Tarekat
Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat
Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh
Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101).
Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat
Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok,
yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang
dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah
yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh
Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.
Berdasarkan
silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat
Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung
ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi
sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan
ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi - tetangga Riau
dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat
ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapaun ajaran
tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang
dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan
pada tiga:
Bagian
Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan
dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat
a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau
Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan
menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang
hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki.
Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili
menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- 'a/am), Dia selalu
memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan
terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan
menciptakan pola-pola dasar (a'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam
raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu
ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang
ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din
Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang
dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam
pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan
penghayatan tauhid yang tinggi.
Bagian kedua, Insan Kamil
atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan
hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta
Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari
esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan
Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya,
sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang diedari oleh
seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama
yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman
itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi
Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang
sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bagian ketiga, jalan kepada
Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada
rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu
memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan
tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah.
Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah.
Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk
menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu
dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau
disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan
dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan
catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan
syari’at.
5. Tarekat
Syadziliyah
Secara pribadi
Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya,
Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan
hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun
ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat
Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali
menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut,
pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui
sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai
ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap
merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak
dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak
mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual
yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan.
Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid
melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa
mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran
Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan
as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu
permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".
Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali,
mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda
cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya
Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa
karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn
Atah'illah.
1. Ketaqwaan
terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara'
dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
2. Konsisten
mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan
dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
3. Berpaling
(hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku
sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
4. Ridho
kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan
menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
5. Kembali
kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang
diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung
kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi
tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
1. Semangat
yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2. Berhati-hati
dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas
kehormatannya.
3. Berlaku
benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian
tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4. Melaksanakan
tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
5. Menghargai
(menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang
lebih besar.
Selain itu
tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan
akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu
pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn
Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan
hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia
menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan
hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya
untuk berbuat positif.
Sementara itu
tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w.
790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari
ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran
tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan
kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu
kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur
kepada kita."
Mengenai
dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada
pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para
peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling
berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai
dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang
pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab
penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya,
secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang
disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn
Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh
seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan
spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh
semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka
keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang
Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh
orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Tareqat
Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan
pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani
pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam
tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan
semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak
diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas
yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam
berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah
"ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya,
misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal
ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota
tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang
telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah
Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri
"ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum
penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas
Jalan Yang Benar.
Disamping
Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim
at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah
keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota
tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan
senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda
dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini
di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya
relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam
praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual
rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai
kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib,
paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang
guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru
tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang
anggota dari sebuah tareqat.
Hizb al-Bahr,
Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat
terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan
kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan
adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan.
Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan
panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara
luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat
"dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah
bimbingan guru.
Hizib-hizib
dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota
tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai
kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat
Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.
Para ahli
mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak
begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang
Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan
mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian
hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila
doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh
setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui
murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang
mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini
mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di
Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan
beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di
Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai
beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah,
as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah,
al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik
dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari
Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf
atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga
mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Di antara
Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili (
sufinews.com):
1. Pengelihatan
akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih
kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar
memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku,
katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon
kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun
memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun
memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
2. Aku pesan
oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki
kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk
dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan
orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib
kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
3. Seorang
wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha
ihtiar sendiri.
4. Janganlah
yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu.
Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan
dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
5. Seorang
arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam
berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui
kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
6. Sedikit
amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus
merasa kurang beramal.
7. Andaikan
Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan
memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan :
"Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan
disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Sri Mulyati,
2004. Mengenal & Memahami Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Jakarta Timur: Prenada Media.
http://www.sambas.go.id/news/index.asp?id=63
http://www.sisyat86inspiriete.blogspot.com/search/label/Ilmu Tasawuf
http://www.sisyat86inspiriete.blogspot.com/search/label/Ilmu Tasawuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar